REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengindikasi adanya upaya menaikkan tarif listrik di balik kedok pemangkasan anggaran subsidi listrik di 2016.
Pemerintah akan mengurangi anggaran dari Rp 66 triliun di 2015 menjadi Rp 38,39 triliun di 2016. Untuk 2016, pelanggan yang disubsidi sebanyak 24,7 juta rumah tangga, berkurang dari jumlah yang disubsidi di 2015 sebanyak 45 juta rumah tangga.
"Saya juga sangat tidak setuju jika pencabutan ini jadi alat pemerintah untuk menyerahkan harga ke pasar," kata Ketua Umum YLKI Tulus Abadi dalam Diskusi Publik bertajuk "Subsidi Listrik Tepat Sasaran untuk Warga" di Jakarta, Rabu (21/10).
Masalah subsidi listrik dinilai seharusnya tidak dilihat dari kemampuan penerima. Ia menilai jika semua yang menyangkut kebutuhan masyarakat diserahkan ke pasar, itu sama dengan menghilangkan peran pemerintah di tengah-tengah masyarakat.
Tulus menyebut, subsidi listrik relatif lebih tepat sasaran dari pada subsidi bahan bakar minyak. Meski, dia mengakui ada sejumlah ketidakadilan dalam pelaksanaannya yakni di antaranya 90 persen bahan bakar listrik sangat merusak lingkungan. Karena itu, seharusnya sejak awal tidak disubsidi.
Ia mencontohkan negara Eropa dan Amerika, yan bahan bakar yang merusak lingkungan diberikan disinsentif. Selain itu, warga yang memanfaatkan energi dari fosil pun membeli dengan harga keekonomian dan juga dikenai pajak. "Jadi pada dasarnya ini kebijakan yang keliru secara global," tuturnya.
Tarif listrik, lanjut dia, di satu sisi meninabobokan masyarakat karena bisa memerolehnya dengan harga murah. Di sisi lain, struktur tarif industri tidak ikut murah. Akhirnya, masyarakat menikmati harga hasil industri yang mahal.