Rabu 21 Oct 2015 12:55 WIB

Jangan Buru-Buru Terapkan Pengampunan Pajak

Rep: satria kartika yudha/ Red: Taufik Rachman
Warga berkonsultasi tentang pajak di gerai layanan terpadu saat pembukaan Gerai Layanan Terpadu di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga berkonsultasi tentang pajak di gerai layanan terpadu saat pembukaan Gerai Layanan Terpadu di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (1/9).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo meminta pemerintah tidak terburu-buru memberlakukan pengampunan pajak. Indonesia dinilai belum siap untuk memberlakukan kebijakan tersebut.

"Masih banyak hal yang belum mendukung. Kalau terburu-buru, khawatirnya pengampunan itu tidak akan optimal,"kata Yustinus kepada Republika.

Dijelaskan Yustinus, pengampunan pajak membutuhkan sistem administrasi yang memadai, khususnya administrasi pascapengampunan. Harus ada pengawasan terhadap seseorang yang sudah diberikan pengampunan.

Selain itu, pemerintah juga dinilai belum memiliki skenario yang jelas untuk membedakan wajib pajak yang tidak patuh dengan yang sudah patuh saat pengampunan pajak dilakukan. Dia khawatir, wajib pajak yang selama ini sudah patuh merasa cemburu karena wajib pajak yang selama ini melakukan penghindaran pajak malah diampuni.

"Manajemen seperti ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan distorsi bagi wajib pajak yang patuh menjadi tidak patuh," kata dia.

Yustinus menyambut baik karena pemerintah dan DPR akhirnya sepakat mempersempit cakupan pengampunan pajak hanya pada sebatas pidana pajak. Sehingga tidak meluas pada cakupan pengampunan lain seperti pengampunan untuk pelaku tindak pidana korupsi.

Walau menilai pengampunan pajak belum siap dilakukan, dia menyebut kebijakan ini bisa membuat orang-orang yang selama ini melakukan penghindaran pajak untuk membayarkan kewajibannya. Sebab, ada diskon pajak cukup besar bagi seseorang yang mau melaporkan hartanya yang sebelumnya tidak dilaporkan.

Dengan pengampunan pajak, apabila wajib pajak ada yang melaporkan hartanya sejumlah Rp 10 miliar, uang tebusan yang harus dibayar hanya sebesar 2 persen atau Rp 200 juta. Sedangkan tarif normalnya kalau seseorang terbukti melakukan penghindaran pajak dengan tidak melaporkan seluruh harta kekayaannya, tarif pajaknya sebesar 30 persen.

"Bedanya memang besar. Tapi ini tujuannya supaya wajib pajak yang tidak bisa dikejar, mau mengaku dan melaporkan harta kekayannya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement