Sabtu 17 Oct 2015 13:00 WIB

Pemerintah Bantah tidak Bisa Negosiasi dengan Freeport

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ani Nursalikah
Petugas dari satuan Brimobda DIY Satgas Amole III 2015 BKO PT Freeport Indonesia berjaga di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Ahad (20/9).   (Antara/Muhammad Adimaja)
Petugas dari satuan Brimobda DIY Satgas Amole III 2015 BKO PT Freeport Indonesia berjaga di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Ahad (20/9). (Antara/Muhammad Adimaja)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah membantah disebut tidak bisa bernegosiasi dengan PT Freeport. Pemerintah justru telah melakukan berbagai hal untuk hasil yang terbaik.

“Tidak ada dasar sama sekali kalau dibilang pemerintah tidak bisa bernegosiasi,” ucap juru bicara Kementerian ESDM, Rudi Gobel saat diskusi bertopik Mengapa Ribut Soal Freeport? di Jakarta, Sabtu (17/10).

Menurut dia, dalam proses yang terjadi sekarang, Presiden RI Joko Widodo paham betul Freeport seolah menjadi ‘gula’ untuk banyak pihak. Untuk itu Pak Jokowi ingin mengembalikan pengurusan Freeport ke sektor yang berwenang.

“Supaya jangan banyak yang ikut campur dan dipolitisasi,” kata Rudi.

Jokowi sudah buka suara hingga kini belum ada perpanjangan kontrak dengan Freeport.

“Kami patuh pada undang-undang, bukan hanya soal Freeport saja tapi juga soal Papua,” ucapnya.

Presiden sudah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tim Kajian Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Pembangunan Ekonomi  Papua. Lewat Keppres tersebut, ada upaya agar pemrintah pusat dan daerah bersinergi dan bersama-sama mengembangkan Papua.

Meski begitu pemerintah telah memberikan sinyal untuk terus bekerja sama dengan Freeport. “Ada strong signal dari Kementerian ESDM,” ujar Rudi.

Dalam kesempatan itu dia mengakui pemerintah membutuhkan penataan regulasi, tidak hanya untuk Freeport saja tapi juga yang lainnya. Penataan tersebut lebih ditujukan supaya regulasi bisa kembali khittah dan dapat menarik investor masuk ke Indonesia.

“Karena regulasi yang sebelumnya ada yang tidak ramah pada investor,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement