REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadikan Indonesia sebagai negara yang ramah investasi dengan meluncurkan sejumlah paket kebijakan ekonomi dinilai perlu diapresiasi.
Namun demikian, Presiden Jokowi diingatkan agar rangkaian paket deregulasi dan debirokratisasi itu tidak menjadikan Indonesia terseret liberalisasi.
Selain itu, jika deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilakukan pemerintah tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, maka pemerintah diminta instropeksi mempelajari kemungkinan berkembangnya ketidakpercayaan publik (public distrust).
Hal itu terungkap dalam diskusi publik para dosen Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas), Jakarta, Selasa (6/10), yang menghadirkan dua pembicara kunci Manager ASEAN Economic Community Center (AEC Center), Tri Mardjoko dan Ketua Program Studi Magister Manajemen (MM) Unas I Made Adnyana.
Diskusi publik yang mengangkat tema 'Dampak Pemberlakuan Paket Kebijakan Ekonomi Terhadap Daya Saing Nasional Indonesia' itu menyoroti peran penting pemerintah dalam mendorong penguatan daya saing nasional, baik melalui regulasi, bantuan permodalan, maupun pembinaan.
Namun demikian, karena hampir di setiap aspek Indonesia sudah tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, khususnya sesama anggota ASEAN, para dosen senior Unas setuju dengan langkah pemerintah melakukan perombakan berbagai aturan yang menghambat.
Tidak saja menhambat masuknya investasi, tetapi juga melindung produk-produk lokal, khususnya yang diproduksi perusahaan Usaha Mikro Menengah dan Kecil (UMKM).
Paket Kebijakan Ekonomi Tahap I dan Tahap II yang sudah diluncurkan pemerintahan Presiden Jokowi dinilai sudah baik, tetapi hasilnya kurang nendang. Tidak ada lonjakan investasi yang masuk, dan meski rupiah menguat dinilai belum mencerminkan hasil signifikan dari paket kebijakan itu sendiri.
Dosen senior Unas Zainul Djumadin mengingatkan pemerintah agar rangkaian paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang diluncurkannya tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang benar-benar liberal.
"Pemerintah tetap berkewajiban mengikat para investor untuk menampung produk lokal, dan melindungi produk lokal (terutama produk-produk UMKM) dari serbuan produk asing," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Rabu (7/10).
Manager ASEAN Economic Community Center (AEC Center) Tri Mardjoko mengemukakan, tujuan deregulasi pemerintah adalah diarahkan untuk memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri atau utilisasi kapasitas industri dan menghilangkan distorsi yang membebani konsumen.
Selain itu, deregulasi dimaksudkan juga untuk mempercepat penyelesaian kesenjangan daya saing industri dan menciptakan inisiatif baru sehingga industri nasional mampu bertahan di pasar domestik dan berekspansi ke pasar global.
Soal penilaian Paket Kebijakan I dan II belum nendang, Tri mengajak semua pihak menunggu Paket Kebijakan Tahap III yang akan segera diumumkan pemerintah. "Paket ini pasti lebih nendang karena mencakup pengaturan suku bunga bank, tarif listrik, harga BBM, sistem pengupahan, dan tenaga kerja," ungkapnya.