Senin 28 Sep 2015 12:20 WIB

Ini Dugaan GAPKI terkait Penyebab Kebakaran Lahan di Indonesia

Seorang petugas menghitung jumlah titik api (hot spot) di Posko Kebakaran Lahan dan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (22/9).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Seorang petugas menghitung jumlah titik api (hot spot) di Posko Kebakaran Lahan dan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta, Selasa (22/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Masalah kebakaran lahan sawit terus menjadi pembicaraan hangat hingga detik ini. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)  berharap ada revisi Undang-undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 pasal 69 tentang lingkungan hidup sebagai solusi mengatasi kasus dugaan pembakaran sejumlah hutan di Indonesia.

"Dalam Undang-undang itu diperbolehkan petani membakar lahan maksimal dua hektare. Pasal tersebut adalah penyebab sulitnya melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan pembakaran hutan di Tanah Air," kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Fadhil Hasan dalam keterangannya, Senin (28/9).

Menurut Fadhil, jika UU itu tidak direvisi, maka pemerintah akan dianggap menyetujui salah satu penyebab adanya kebakaran hutan di Indonesia. Masa ada Undang-undang yang memperbolehkan melakukan pembakaran lahan, apalagi sekarang sedang dalam kondisi el Nino, lugas Fadhil.

Ditegaskannya, selama ini perusahaan perkebunan telah menjalankan kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (Zero Burning) dan memiliki Standard Operating Procedure (SOP) Kesiapsiagaan Tanggap Darurat Kebakaran Kebun dan Lahan. Tak hanya itu, perusahaan perkebunan juga memiliki sistem deteksi dini dan penanggulangan kebakaran melalui Tim Kesiapsiagaan Tanggap Darurat inti (TKTD) yang menelan investasi besar-besaran.

Menteri LHK Siti Nurbaya pun mengakui pembakaran lahan seluas dua hektare dibenarkan dalam UU No. 32/2009. Namun, ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi seperti masyarakat harus mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Namun, hasil pantauan di lapangan justru sangat berbeda dikarenakan kurangnya pengawasan dari masyarakat yang berdampak meluasnya kebakaran lahan tersebut.

Sekadar diketahui, posisi Indonesia dalam penanganan bencana asap terus mendapat sorotan dunia Internasional. South China MOrning Post (27/9) menyatakan Singapura berencana mendenda lima perusahaan Indonesia yang dianggap pemicu bencana dimana salah satunya afiliasi dari Sinar Mas Grup, Asia Pulp and Paper (APP).

Indonesian Police Watch (IPW) menilai dalam mengatasi kasus kebakaran hutan dan lahan, pemerintah dan Polri belum bersikap serius. IPW menilai kepolisian cenderung melakukan rekayasa kasus dan kriminalisasi dalam menetapkan tersangka kebakaran hutan dan lahan.

"Pihak yang aktif melakukan upaya pemadaman justru ditahan. Tanpa surat perintah, polisi melakukan pengeledaan dan pemeriksaan hingga dinihari. Aksi rekayasa kasus dan kriminalisasi kebakaran lahan sangat memprihatinkan," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane. Menurutnya, jika cara-cara seperti ini yang dikedepankan pemerintah dan Polri tentunya akan sulit mengatasi kasus kebakaran lahan secara tuntas.

"Kami berharap elite-eliet Polri mengawasi kinerja anak buahnya. Jangan sampai kasus asap dan kebakaran lahan sekarang ini justru membuat Polri tidak profesional dan oknum-oknum kepolisian memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Jika hal ini yang berkembang, penanganan kasus asap dan kebakaran lahan tidak akan pernah tuntas," tegas Neta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement