Selasa 15 Sep 2015 16:12 WIB

IHSG Terus Anjlok, Terseret Pelemahan Indeks Sektoral dan Rupiah

Rep: Risa Herdahita Putri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Karyawan berkomunikasi menggunakan telepon genggam di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (21/8).
Foto: Prayogi/Republika
Karyawan berkomunikasi menggunakan telepon genggam di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok semakin tajam di akhir perdagangan sesi I, Selasa (15/9). IHSG melemah 1,19 persen atau 52,31 poin ke level 4.338,065.

Pelemahan di seluruh sektor membuat IHSG terseret melemah. Kesepuluh indeks saham sektoral memerah dengan pelemahan paling signifikan terjadi di sektor konsumer.

Sektor konsumer turun 1,944 persen. Sebelumnya telah dirilis survey eceran yang menurut Analis PT. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Guntur Tri Haryanto, Selasa (15/9), hal ini merupakan afirmasi terhadap perlambatan ekonomi dan perlambatan penjualan di sektor konsumer.

"Hal ini hanya akan memberikan sentimen negatif pada indeks, meskipun sebenarnya tren ini sudah disadari oleh pasar sebelum survei keluar, sehingga tidak akan memberikan tekanan yang besar pada indeks," lanjutnya, ketika dihubungi Republika.co.id.

Namun, sektor konsumer bagaimana pun, kata dia, juga masih sangat sensitif terhadap pelemahan Rupiah. Itu disebabkan masih besarnya komponen impor dalam bahan bakunya.

Sementara, hingga pukul 12.43 WIB, kurs dolar di pasar spot berdasarkan laman Bloomberg juga terus menguat atas rupiah. Nilai tukar rupiah turun 0,38 persen atau 55 poin ke level Rp 14.388 per dolar AS.

Menurut Guntur, dengan pelemahan Rupiah dan penurunan ekonomi, daya beli masyarakat menjadi lebih rendah. "Oleh karenanya diperkirakan memang akan terjadi perlambatan pertumbuhan pada sektor ini. Bahkan untuk yang bergerak di segmen menengah bawah akan mendapat ancaman serius dari pelemahan mata uang Yuan," jelas dia.

Di tambah lagi, sejauh ini spekulasi yang beredar di tengah pasar adalah penantian atas keputusan Bank Sentral AS (the Fed). Keputusan kenaikan suku bunga the Fed dikabarkan bakal dibahas dalam rapat waktu dekat ini, yaitu 16-17 September.

"Sama sekali tidak ada kepastian. Semua orang menunggu the Fed," ujar Ahli Strategi Investasi Global the GuideStone Funds, di Texas, dikutip Reuters.

The Fed pernah menyatakan bakal menaikkan suku bunga jika melihat ada pemulihan ekonomi berkelanjutan. Itu dengan adanya perbaikan data pekerja di AS dan data inflasi. Namun, sementara ini data hanya data pengangguran saja yang membaik, sedangkan inflasi jutru tertekan oleh harga minyak yang lemah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement