REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Anjloknya indeks saham Cina serta memburuknya perekonomian negara tersebut berimbas pada loyonya saham-saham Amerika Serikat (AS). Ini membuat Negeri Paman Sam terlihat seperti mengalami krisis percaya diri memandang pertumbuhan ekonomi.
Optimisme AS tentang perekonomian dibagi ke dalam dua kondisi, ekonomi jangka pendek dan jangka panjang. Dilansir dari Business Insider, Kamis (27/8), survei dari GallupDaily Tracking menunjukkan 24 persen konsumen AS mengatakan perekonomian negara itu sangat baik atau baik saat ini. Sementara 30 persen lainnya menilai masih buruk.
Masalahnya terletak pada outlook ekonomi AS jangka panjang. Indeks kepercayaan konsumen terhadap perekonomian AS turun hingga ke posisi terendah sejak Juli 2014. Hanya 37 persen konsumen AS mengatakan perekonomian negara tersebut masih baik ke depannya. Sementara 58 persen mengatakan semakin buruk.
Melemahnya ekonomi Cina ditambah lagi pemerintah mendevaluasi mata uangnya membuat investor luar negeri waswas. Pertanyaan-pertanyaan seputar ekonomi Cina tampaknya menjadi alasan kerugian investor di pasar global, termasuk AS. Situasi di Cina lebih jauh bisa memukul saham AS. Kepercayaan investor bisa kian terguncang beberapa pekan mendatang.
Tapi ada alasan lain kekhawatiran konsumen AS terhadap ekonomi jangka panjang, selain alasan krisis Cina. Banyak orang AS tidak memiliki saham dan hanya bekerja di sektor riil.
Mereka ini sangat peduli dengan prospek pekerjaan, promosi, pendapatan, biaya kesehatan, kuliah, perumahan, dan sejenisnya yang akan melonjak melihat kondisi gonjang-ganjing ekonomi saat ini. Sebagian orang AS menilai ekonomi saat ini sulit, dan itu tak ada hubungannya dengan keruntuhan gelembung pasar saham di Cina, Jerman, atau AS, juga devaluasi mata uang. Prospek buruk ini adalah refleksi mereka untuk ekonomi sektor rill ke depannya.