Kamis 20 Aug 2015 20:20 WIB

DPR Nilai Target Pajak 2016 tak Realistis

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Rachel Maryam
Foto: Antara
Rachel Maryam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR meminta pemerintah merevisi target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.Target pajak dinilai tidak realistis dan diragukan dapat tercapai.

Permintaan revisi target pajak tersebut diungkapkan hampir semua fraksi dalam rapat paripurna pandangan fraksi-fraksi atas Rancangan APBN dan Nota Keuangan di Gedung DPR RI, Kamis (20/8).

Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) memandang target penerimaan perpajakan (termasuk penerimaan bea cukai) 2016 sebesar Rp 1.565,8 triliun terlalu optimistis. "Akan sulit dicapai. Kami rasa perlu dikaji ulang," kata anggota fraksi PAN Laila Istiana saat menyampaikan pandangan fraksi.

Pemerintah harus merevisi target perpajakan mengingat kinerja penerimaan pajak pada tahun ini masih melempem. Hingga akhir Juli 2015, penerimaan pajak baru tercapai Rp 531,1 triliun atau 31,41 persen dari target Rp 1.294,2 triliun.

 

PAN berharap pemerintah dapat membuat terobosan-terobosan, perbaikan regulasi  untuk mengejar penerimaan pajak. "Penegakkan hukum juga harus terus digencarkan," kata Laila.

Hal serupa disampaikan fraksi Gerinda. Perwakilan dari fraksi Gerindra Rachel Maryam menyatakan, target pajak tidak masuk akal. "Terlalu tinggi dan tidak akan mungkin tercapai," kata Rachel.

Target pajak yang tidak realistis dikhawatirkan dapat memperlebar defisit anggaran yang ditetapkan. Kalau defisit anggaran melebar, maka pemerintah sudah pasti akan menambah utang entah itu melalui penerbitan surat utang negara ataupun pinjaman kepada lembaga donor.

Seperti diketahui, pemerintah merencanakan target penerimaan perpajakan 2016 sebesar 1.565,8 triliun atau naik 5,1 persen dari target APBN Perubahan 2015. Rinciannya terdiri dari penerimaan pajak non migas Rp 1.320 triliun, pajak penghasilan migas Rp 48,5 triliun, dan penerimaan dari kepabeanan dan cukai Rp 197,3 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement