Kamis 20 Aug 2015 17:35 WIB

Ekspor Kelapa Sawit Tertekan Akibat Kejatuhan Harga Minyak Dunia

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja di kawasan perkebunan kelapa sawit Cikidang, Sukabumi, Sabtu (3/4).
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja di kawasan perkebunan kelapa sawit Cikidang, Sukabumi, Sabtu (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan harga minyak dunia hingga menyentuh level 40 dolar AS per barel ikut menekan angka ekspor minyak kelapa sawit (CPO). Pemerintah mencatat, ekspor minyak sawit Indonesia pada Juli lalu hanya sebesar 2,1 juta ton atau turun 8 persen dibandingkan bulan sebelumnya 2,7 juta ton.

Direktur Utama Badan Layanan Umum Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BLU CPO Fund) Bayu Khrisnamurthi menjelaskan, secara psikologis dan bisnis ada dampak penurunan minyak dunia pada harga komoditas perkebunan. Dia menyebutkan, apabila harga minyak dunia turun hingga kisaran 40 dolar AS per barel, maka akan memukul harga komoditas khususnya karet, kopi, dan minyak kelapa sawit.

"Ini menurut saya ada masalah yang jauh lebih besar daripada sekedar sawit. Itu membuat para eksportir berpikir. Kalau mereka meneruskan ekspornya mereka akan rugi," jelas Bayu, Kamis (20/8).

Bahkan, lanjut Bayu, sejumlah petani sawit sudah menyetop panen karena harga jual yang rendah tidak akan mampu menutup biaya panen. Bayu menambahkan, terjadi fenomena menarik setelah adanya kebijakan CPO Fund atau dana sawit.

Industri sawit luar negeri bukan menurunkan ekspor‎ bahan mentah, melainkan tetap membeli CPO turunan."Sekarang sudah makin lebih banyak yang hilir. Karena memang pungutannya bedanya besar, kalau CPO pungutannya 50 dolar, kalau jadi RBD (olahan lanjut dari CPO) aja itu satu level diolah dari CPO pungutannya jadi 30 dolar. 20 dolar itu sangat menguntungkan buat mereka," katanya.

Hal ini lah yang justru membuat turunan CPO justru lebih banyak diekspor. Negara dengan industri yang maju, tambahnya, penurunan harga minyak membuat biaya produksi jadi lebih rendah. Hal ini karena negara maju dinilai sudah mapan memiliki infrastruktur untuk manufaktur.

"Jadi mereka terjemahkan ke peningkatan produktivitas dan efisiensi. Kita belum karena industri kita tumbuh. Jadi kalau harga minyak lemah, yang kita rasakan adalah turunnya harga komoditi," lanjutnya.

Sementara itu, SVP Engineering Operations Management Renewable Energy PT Pertamina (persero) Tanudji mengungkapan, untuk memenuhi kebutuhan biofuel Pertamina membutuhkan 10 green diesel refinery dalam kapasitas 10 ribu barel dalam 10 tahun ke depan.

Selain itu, lanjut Tanudji, untuk memenuhi stabilitas feedstok, Pertamina akan melakukan kerjasama dalam hal pengembangan perkebunan.

"Pertamina siap untuk menyerap, menjadi perusahaan penyerap terbesar dan secara ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas," katanya.

Tanudji menambahkan, pada September nanti Pertamina siap menyerap 20 persen dari total produksi Pertamina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement