Rabu 05 Aug 2015 18:53 WIB

Ekonomi Loyo, Pengamat: Artinya Daya Beli Menurun!

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang pengunjung memilih pakaian yang didiskon jelang Lebaran di salah satu pusat perbelanjaan Jakarta.
Foto: Antara
Seorang pengunjung memilih pakaian yang didiskon jelang Lebaran di salah satu pusat perbelanjaan Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II lebih rendah dari ekspektasi. Sebelumnya pemerintah optimis pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen mengingat pertumbuhan di triwulan I sebesar 4,7 persen.

Namun ternyata tiga bulan berikutnya Indonesia tidak mampu mencapainya. “Saya rasa ini bukan hanya sekadar faktor global,” ujar peneliti Institute for Development of Economist and Finance (Indef), Eko Listianto kepada ROL, Rabu (5/8). 

Dilihat dari keseluruhan tingkat ekonomi triwulan II, harusnya bisa lebih tinggi karena adanya momentum puasa dan Hari Raya Idul Fitri. “Lebaran memang jatuh pada Juli, tetapi seharusnya ada ancang-ancang dari industri dua bulan seblumnya untuk meningkatkan produksi,” ucapnya. 

Faktanya, kenaikan produksi saat ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Terlihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi saat ini dan tidak adanya efek dari dua momentum itu terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Dari sisi kuantitas ya segitu-segitu saja, artinya daya beli masyarakat menurun,” jelas Eko.

Angka 4,67 persen pada pertumbuhan ekonomi saat ini harus segera dibenahi. Jika dilihat, ada 17 lapangan usaha yang tipikal pertumbuhannya sama seperti triwulan I 2015. 

Secara keseluruhan, tidak terlihat perbedaan signifikan antara triwulan I dan II. Berarti peran pemerintah tidak kelihatan di sini, kecuali dari peningkatan belanja atau faktor konsumsinya. “Dampak pengeluaran itu tidak tampak, buktinya 17 sektor tersebut tidak naik, bahkan ada yang turun seperti di sektor pertambangan,” ucapnya.

Peningkatan pengeluaran tersebut hendaknya stimulatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun belanja pemerintah yang mengalir selama triwulan II kebanyakan adalah belanja konsumtif seperti pembayaran gaji pegawai dan pengeluaran lain yang tidak mendorong pertumbuhan ekonomi. “Sedangkan belanja modalnya masih belum efektif,” ujar Eko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement