Kamis 23 Jul 2015 15:13 WIB

Bea Masuk Dongkrak Industri Makanan dan Minuman Nasional

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Satya Festiani
Pertumbuhan Industri Makanan dan Minuman. Pembeli memilih produk makanan dan minumam di pusat perbelanjaan, Jakarta, Kamis (9/7).
Foto: Republika/ Wihdan
Pertumbuhan Industri Makanan dan Minuman. Pembeli memilih produk makanan dan minumam di pusat perbelanjaan, Jakarta, Kamis (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gabungan Industri Makanan dan Minuman Adhi Lukman mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menaikkan bea masuk produk konsumsi masyarakat dapat membantu pertumbuhan industri makanan dan minuman di dalam negeri. Selain itu, kebijakan tersebut juga merupakan langkah yang tepat untuk melakukan harmonisasi tarif.

"Ini bagus untuk harmonisasi tarif, karena ada beberapa tarif bahan baku kena bea masuk tapi produk olahan tidak kena bea masuk," ujar Adhi di Jakarta, Kamis (23/7).

Adhi mengatakan, kebijakan ini tidak berlaku bagi negara-negara yang sudah melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia seperti Cina, Korea, Jepang, dan negara-negara Asia Tenggara.  Dengan demikian, hal ini dapat menjadi pemicu serta mendorong industri makanan dan minuman agar memiliki daya saing. Besarnya bea masuk yang dikenakan untuk setiap produk berbeda yakni antara 10 persen sampai 150 persen. Menurut Adhi, importasi produk makanan dan minuman dari Eropa serta Amerika Serikat masih cukup signifikan. Produk yang di impor antara lain permen dan snack atau camilan.

"Dengan demikian, otomatis industri di dalam negeri akan lebih maju karena ada proteksi tarif," kata Adhi.

 

Adhi menjelaskan, pihaknya belum akan melakukan revisi target pada tahun ini. Pasalnya, dia masih ingin melihat efektivitas kebijakan tersebut minimal sampai akhir Juli 2015. Menurut Adhi, realisasi ekspor impor produk makanan dan minuman sampai Mei 2015 semakin membaik. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya negatif balance trade mencapai Rp. 240 juta. Sementara itu, pada tahun sebelumnya mencapai Rp 900 juta.

Dengan adanya kebijakan bea masuk tersebut, diharapkan negatif balance trade sepanjang 2015 bisa berada di bawah Rp 900 juta. Target tersebut harapannya dapat tercapai apabila tidak ada gejolak nilai tukar mata uang. Pasalnya, sebagian besar bahan baku yang digunakan oleh industri makanan dan minuman masih impor.    

Kenaikan bea masuk itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/0.10/2015. Total ada lebih dari 60 pos jenis barang konsumsi yang dikenakan tarif bea masuk. Bahan makanan dan minuman produksi luar negeri yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif bea masuk bervariasi mulai 10 persen hingga 150 persen dari harga dasar barang.

Minuman etil alkohol dengan kadar alkohol kurang dari 80 persen seperti brandy, wiski, rum dan lainnya dikenakan kenaikan tarif bea masuk paling tinggi yakni sebesar 150 persen. Sementara minuman anggur atau wine dikenakan tarif bea masuk sebesar 90 persen. Selain itu, kopi dan teh impor juga dikenakan bea masuk sebesar 20 persen. Sementara produk sosis dan daging olahan juga dikenakan bea masuk sebesar 30 persen.

Berikut daftar barang impor yang masuk dalam daftar bea masuk, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/0.10/2015 antara lain:

1. Kopi (20 persen)

2. Teh (20 persen)

3. Sosis/daging olahan (30 persen)

4. Daging/darah yang diawetkan (30 persen)

5. Ikan diolah/diawetkan (15 persen)

6. Krustasea, moluska dan invertebrata air olahan/diawetkan (15 persen)

7. Permen karet (20 persen)

8. Coklat (15 persen)

9. Pasta/mie (20 persen)

10. Makanan sereal (10 persen)

11. Roti/kue kering (20 persen)

12. Sayuran, buah, kacang (20 persen)

13. Ekstrak kopi/teh (20 persen)

14. Saus dan olahannya (15 persen)

15. Es krim (15 persen)

16. Olahan makanan lain (Tempe) (15 persen)

17. Minuman Ringan

- Air mineral/soda (10 persen)

- Minuman pop non soda (20 persen)

18. Wine anggur (90 persen)

19. Vermouth dan minuman fermentasi anggur lainnya (90 persen)

20. Minuman sari buah (90 persen)

21. Minuman etil alkohol dengan kadar alkohol kurang dari 80 persen (150 persen).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement