REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mensinyalir kondisi perekonomian domestik berada pada lampu kuning. Hal itu berdasarkan kajian tengah tahun (KTT) Indef 2015 yang menemukan 10 indikator yang menunjukkan lampu kuning.
Direktur Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, salah satu sumber pertumbuhan ekonomi melambat, karena pemerintah kurang powerfull dalam memerintah atau ungovern government. Yakni fenomena dimana pemerintah tidak dapat mengelola pemerintahan terutama pada sektor ekonomi.
Pertama, adalah pertumbuhan ekonomi yang anjlok pada kuartal I-2015 sebesar 4,7 persen. Angka tersebut merupakan pertumbuhan terendah atau terburuk sejak tahun 2009.
"Pertumbuhan ekonomi yang anjlok, kualitasnya juga menurun. Harapan kita dengan pemerintahan baru ada transformasi struktural, sektor yang tumbuh lebih pada yang menghasilkan barang. Di nawacita ada dorongan pada sektor riil tapi belum tercapai," kata Enny dalam seminar KTT Indef 2015 bertema Kredibilitas Kebijakan di Persimpangan, di Jakarta, Rabu (10/6).
Indikator kedua, penurunan kualitas pertumbuhan, kata Enny, terlihat dari semakin jauh harapan terjadinya transformasi struktur ekonomi. Pertumbuhan sektor perdagangan justru merosot cukup tajam, sedangkan non perdagangan masih tetap baik.
Sektor jasa tumbuh tinggi, terutama jasa informasi dan komunikasi (10,53 persen), serta jasa keuangan dan asuransi (7,57 persen). Padahal sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya yg formal. Sementara, industri yang mempunyai kontribusi sekitar 23,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya mampu tumbuh 3,87 persen.
Indikator ketiga penurunan investasi. Pertumbuhan investasi melambat dari 20,22 persen pada kuartal I-2014 menjadi 10,16 persen pada kuartal I-2015. Sedangkan porsi investasi terhadap PDB turun dari 33,46 persen pada kuartal IV-2014 menjadi 31,94 persen pada kuartal I-2015.
"Ini menyebabkan terjadinya indeks tendensi bisnis, kepercayaan para pelaku usaha turun. Kuartal I-2015 turun cukup signifikan menjadi 103,42 dari 104,07 pada kuartal IV-2014. Indeks keyakinan konsumen juga mengalami penurunan," imbuh Enny.
Keempat, defisit neraca pembayaran. Surplus neraca perdagangan bukan ditopang oleh membaiknya kinerja ekspor melainkan menurunnya impor. Pada Januari-April 2015, ekspor turun 11,01 persen dan impor turun 17,03 persen. Defisit neraca jasa kuartal I-2015 mencapai 1,8 miliar dolar AS. Net neraca modal juga mengalami defisit 5,1 miliar dolar AS, dimana neraca primer defisit 6,5 miliar dolar AS, sementara neraca sekunder hanya surplus 1,4 miliar dolar AS.
Tekanan depresiasi rupiah menjadi indikator selanjutnya. Pada Oktober 2014, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp 12.032. Dalam waktu kurang dari delapan bulan, pada awal Mei 2015 rupiah anjlok hingga Rp 13.129 per dolar AS.
Pertumbuhan penyaluran kredit yang melambat juga menjadi salah satu indikator lampu kuning. Pertumbuhan kredit pada kuartal I-2015 hanya tumbuh 11,3 persen (yoy) menurun dari kuartal sebelumnya 11,6 persen (yoy).
Selanjutnya, peran stimulus fiskal dinilai nihil. Kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyal berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok. Kebijakan tersebut dinilai tepat namun terjadi miss koordinasi pada kebijakan terhadap stabilitas harga kebutuhan pokok.
Sampai 31 Maret 2015, penyerapan anggaran hanya sebesar Rp 367,4 triliun atau 18,5 persen. Penyerapan Kementerian Pekerjaan Umum sebesar 2,5 persen, Kementerian Pertanian 2,25 persen, dan Kementerian ESdM 5-6 persen. Realisasi belanja modal juga baru 1,4 persen.
Meningkatnya pengangguran dan ketimpangan juga menjadi indikator lampu kuning. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin marak. Dampaknya angka pengangguran meningkat pada Februari 2015 sebesar 5,81 persen dibandingkan Februari 2014 sebesar 5,70 persen.
Indikator terakhir adalah daya beli masyarakat yang anjlok. Dua faktor utama penentu daya beli masyarakat yakni stabilitas harga kebutuhan pokok dan tersedianya sumber pendapatan. Padahal dia menilai pengendalian stablitas harga di Indonesia cukup sederhana.
Kuncinya pada stabilitas harga energi yang diatur pemerintah (administered prices) dan harga barang bergejolak yang bersumber dari bahan pokok (volatile food). "Sayangnya, sampai April 2015 inflasi harga yang diatur pemerintah mencapai 13,25 persen (yoy) dan inflasi barang bergejolak 6,23 persen," pungkasnya.