Ahad 17 May 2015 15:58 WIB

Frekuensi Kenaikan BBM Baru Bisa Diketahui November

Rep: C85/ Red: Indira Rezkisari
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Grogol, Jakarta, Selasa (28/4). (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Grogol, Jakarta, Selasa (28/4). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri ESDM Sudirman Said menyatakan ke depan pemerintah akan mengkaji frekuensi kenaikan harga BBM subsidi yang sesuai untuk masyarakat. Pasalnya, dengan pola penyesuaian sebulan sekali seperti saat ini, banyak kalangan yang menilai terlalu cepat.

Hal ini pula lah yang menjadi salah satu alasan pembatalan kenaikan harga BBM non subsidi pada Jumat (15/5) dini hari. Meski sejatinya BBM non subsidi adalah hak Pertamina namun jelas masih ada kebingungan di kalangan masyarakat terkait kebijakan penyesuaian harga ini.

Sudirman meminta waktu minimal satu tahun setelah pencabutan subsidi BBM untuk bisa tahu bagaimana pola terbaik untuk menyesuaikan harga BBM subsidi. Ini artinya, kata dia, bulan November nanti tepat satu tahun pasca kebijakan pencabutan subsidi BBM dan saat itulah pemerintah bisa memutuskan frekuensi yang tepat untuk menyesuaikan harga BBM.

"Saya minta waktu 1 tahun setelah subsidi itu dicabut kita akan ketemu pola. Kita putuskan bulan November dan itu bertepatan dengan 1 tahun setelah pemerintahan berjalan 1 tahun dan setelah kebijakan (pencabutan subsidi BBM) itu ditetapkan. Sudah jelas kalau 1 bulan sekali orang keberatan. Kalau 3 bulan dan 6 bulan itu akan jadi opsi," ujarnya saat jumpa pers, akhir pekan ini.

Untuk BBM non subsidi, pemerintah akan sepenuhnya menyerahkan kewenangan kepada Pertamina. Hanya saja, Sudirman secara khusus meminta agar korporasi memutuskan juga secara bijak.

"Selanjutnya untuk BBM yang nonsubsidi menjadi domainnya korporasi silakan memutuskan. Tidak perlu ada keriuhan. Terhadap yang subsidi pemerintah sedang terus mengkaji frekuensinya seperti apa, sebaiknya seberapa sering, karena perubahan yang terlalu sering itu  disadari merepotkan perencanaan," ujar Sudirman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement