Jumat 08 May 2015 12:42 WIB

Industri Tekstil Layoff

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Satya Festiani
Pertumbuhan Tekstil dan Produk Tekstil: Karyawan merapikan kain lokal yang dijual di salah satu tokoh di Pasar Mayestik, Jakarta, Kamis (29/1).(Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Pertumbuhan Tekstil dan Produk Tekstil: Karyawan merapikan kain lokal yang dijual di salah satu tokoh di Pasar Mayestik, Jakarta, Kamis (29/1).(Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat mengatakan, pada periode Januari sampai April 2015 sudah ada 18 perusahaan tekstil layoff atau gulung tikar di Pulau Jawa. Akibatnya, sekitar 30 ribu tenaga kerja industri tekstil mengalami pemutusan hubungan kerja.  

Ade mengatakan, hal ini terjadi akibat daya beli masyarakat yang turun akibat melemahnya perekonomian di dalam negeri. Selain itu, depresiasi mata uang dunia terhadap dolar AS dan ketidakpastian harga listrik juga menjadi pemicu tutupnya 18 industri tekstil di Indonesia.

"Layoff ini merupakan gejala temporer saja, namun apabila tidak ada perbaikan regulasi maka tidak menutup kemungkinan 50 ribu pekerja di sektor tekstil akan kehilangan pekerjaannya," kata Ade di Jakarta, Jumat (8/5).

Ade mengatakan, salah satu beban yang dirasakan oleh pelaku usaha di industri tekstil yakni kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Hanya perusahaan yang memiliki working capital kuat saja, yang mampu bertahan. Pasalnya, meskipun perusahaan tersebut tidak beroperasi namun tetap mengeluarkan beban usaha untuk pergudangan.

Ade menjelaskan, tarif listrif menjadi komponen biaya terbesar kedua setelah bahan baku dengan proporsi 18 persen hingga 26 persen dari total biaya produksi. Dengan demikian, tak heran jika di kuartal I/2015 sudah ada belasan perusahaan tekstil yang gulung tikar. Akan tetapi menurutnya, pasar tekstil secara global akan kembali bergairah pada Agustus dan September mendatang.

"Kapasitas laporan payroll dunia bilang, kapasitas produksinya sudah kembali ke 24 jam lagi dan nanti akan kita rasakan dampaknya sekitar Agustus hingga September," kata Ade.

Ade meminta kepada pemerintah agar TDL tidak fluktuatif sehingga industri tekstil bisa mengestimasi biaya yang dikeluarkan. Menurutnya, listrik jangan disamakan dengan bahan bakar minyak (BBM), yang dijadikan sebagai komoditas pemasukan negara. Seharusnya listrik menjadi agent of development yang membangun negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement