Jumat 08 May 2015 02:00 WIB

BI: Kendalikan Risiko Nilai Tukar dengan Lindung Nilai

Rep: C91/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memberikan keterangan pers?terkait suku bunga acuan (BI Rate) di Jakarta, Selasa (17/2).
Foto: Republika/Prayogi
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memberikan keterangan pers?terkait suku bunga acuan (BI Rate) di Jakarta, Selasa (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo, menyebutkan transaksi yang dilakukan penanggungjawab perusahaan, institusi, atau pun keuangan negara, bila melibatkan valuta asing, lalu dikaitkan rupiah, maka ada risiko nilai tukar. Menurutnya, risiko tersebut sebenarnya bisa dikendalikan dengan manajemen risiko, seperti kegiatan lindung nilai.

"Bila satu perusahaan tidak mengelola risiko nilai tukar, maka bisa menciptakan kerugian bagi perusahaan itu," ujar Agus dalam Seminar Nasional 'Transaksi Lindung sebagai Alat Tata Kelola Keuangan Negara dan Perusahaan', di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis, (7/5).

Menurutnya, risiko nilai tukar perlu dipahami karena bisa berdampak pada negara. Baik mikro maupun makro.

Ia mengungkapkan, hampir 70 persen pembelian menggunakan valuta asing. "Kami ingin menyoroti ekonomi gelobal pada 2013 sampai 2014 secara kurang lebih sama yaitu 3,3 sampai 3,4 persen. Di 2015 yang kita perkirakan akan baik pertumbuhannya dikoreksi 3,8 ternyata terkoreksi 3,5. Pada 2016 pun diperkirakan 4 tp ternyata 3,8. Proses pemulihannya pelan," jelasnya.

Agus mengatakan, sebelumnya Amerika Serikat (AS) tengah memperbaiki ekonominya hingga menurunkan tingkat bunga dan menyebarkan uang murah ke dunia. Namun sekarang perekonomian AS mulai pulih, dan kemungkinan meningkatkan tingkat bunga, sehingga secara umum kondisi bakal menjadi super dolar.

"Jadi akan ada proses pemulihan ekonomi AS dan penguatan dolar, yang perlu kita simak pertumbuhan ekonomi Tiongkok di 2013 di atas tujuh persen, tapi tahun ini diprediksi hanya 6,8 persen. Padahal begitu besar ekspor kita ke Tiongkok," tutur Agus.

Ia menambahkan, untuk negara berkembang akan mengalami volatilitas nilai tukar yang tinggi, karena dolar menguat. "Volatitilitas harus siap kita hadapi ke depan," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement