REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait pemberian insentif dan keluhan tentang pajak yang terlalu tinggi bagi pembudidaya mutiara lokal.
Susi juga berharap industri mutiara juga terbuka dan melibatkan masyarakat lokal, serta membuat budidaya ini dikenal. "Indonesia berkutat dengan pasaran internasional yang sama dengan berbagai negara lainnya baik itu Singapura ataupun Malaysia. Dalam peraturan fiskal pengusaha Malaysia dan Singapura berbeda," kata Susi, di Jakarta, Senin (4/5).
Lebih lanjut, Susi menguraikan rentetan perbedaan kebijakan fiskal Indonesia dengan negara tetangga. Sekarang, lanjutnya, Singapura hanya mengenakan Goods and Services Tax (GST) 7 persen sedangkan PPN Indonesia 10 persen. Sementara Malaysia untuk status perusahaan pionir 7-12 persen bebas pajak apapun pertahun kemudian reward untuk reinvestasi kredit 3 persen.
Sedangkan, kata Susi, Indonesia untuk industri perikanan harus ada izin prinsip bayar 0,5 persen dan untuk membuat PT registrasinya juga berbayar.
"Kemudian ada IMB dan kemudian pajak membangun sendiri 4,5 persen, PPn menggunakan kontraktor 10 persen, impor mesin sampai pelabuhan terkena PPh 22 sebesar 2,5 persen. Bagaimana mau menghasilkan, PPh itukan pajak penghasilan. Mesin masih di custom dan di bea cukai," lanjutnya.
Namun Susi sendiri menolak kebijakan fiskal yang terlalu terbuka. Dia menganggap, Indonesia belum siap secara fiskal untuk berkompetisi dengan negara lain.
"Jadi produk perikanan Indonesia sebelum mencapai pasar atau produk jadi itu sudah kena 30% hingga 42% untuk cost-nya saja dan itu biaya yang tidak perlu. Itu seharunya tidak perlu dipungut, dan tidak perlu diberikan insentif," kata Susi.