REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VI DPR RI kembali mengundang BUMN yang bergerak di bidang energi, PT Pertamina dan PT PGN. Keduanya dipanggil sebagai tindak lanjut Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan komisi VI pada pekan lalu.
Dalam RDP kali ini, anggota komisi VI DPR RI deras memberikan kritik terkait peran Pertamina dalam menentukan harga BBM yang dilepas ke pasar.
Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto, akhirnya menjelaskan kepada Komisi VI DPR RI penyebab harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dijual Pertamina bisa lebih mahal dibandingkan badan usaha lain.
"Badan usaha swasta diberikan kebebasan menjual BBM, sedangkan Pertamina diwajibkan menjual BBM ke seluruh tanah air, tugas ini yang membuat keuangan pertamina bertambah," jelas Dwi, Rabu (15/4).
Artinya, dengan penugasan untuk "menjual ke seluruh tanah air" ini maka beban distribusi Pertamina akan bertambah. Padahal, biaya distribusi ke setiap daerah terlebih di daerah pelosok cukup tinggi. Hal ini berbeda dengan SPBU asing yang tidak diberikan kewajiban untuk menjual BBM di luar Jawa.
Dwi menyebut, Pertamina telah menyediakan cadangan selama 20 hari. Sehingga bisa jadi BBM yang diimpor Pertamina pada tiga bulan lalu dengan harga tinggi, dijual Pertamina saat ini dengan harga murah mengikuti MOPS yang juga rendah. Hal ini lah yang membuat Pertamina merugi.
Lebih lanjut, menurut Dwi hal itu yang membuat tambahan biaya yang dibebankan ke pembeli. "Pertamina memilki cadangan beban inventori cadangan nasional 20 hari," ujar Dwi.
Sementara itu, Direktur Pemasaran Pertamina, Ahmad Bambang, menjelaskan BBM yang dijual Pertamina itu juga ada tambahan Pajak Bahan Bakar Kendaraan (PBBKB) oleh pemerintah daerah. "Itu juga ada dalam formula alfa," ujar Bambang.
Pemberlakuan PBBKB ini, menurut Bambang, tidak diberlakukan oleh badan usaha lain. Ia juga mengatakan setiap Pemerintah Daerah berbeda-beda ada yang 17 persen dan 10 persen.
"Hal ini juga menyebabkan harga jual BBM untuk industri dari Pertamina lebih mahal ketimbang badan usaha lain," pungkas Bambang.