REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar melihat hal ironis dari rilis Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai laporan daya beli petani. Dalam rilis disebut, daya beli petani pada Maret turun 0,64 persen dibandingkan Februari 2015.
"Berarti kebijakan pemerintah yang kemarin menaikkan HPP belum berpengaruh dan tidak memberikan kesejahteraan buat petani," kata dia pada Rabu (1/4). Kejadian seperti itu, lanjut dia, karena secara rill pemantauan pelaksanaan pembelian beras petani oleh Bulog berdasarkan HPP tidak jeli. Dalam beberapa kasus malah beras petani dibeli Bulog setelah si petani menjualnya kepada pedagang atau tengkulak.
Makanya, selagi momen panen raya masih berlangsung, di mana produksi beras melimpah, pemerintah dan Bilog harus bekerja keras mengawal pelaksanaan HPP, mekanisme pengawasan diberlakukan guna mengawal agar penyerapan beras petani dilakukan secara langsung tidak melalui tengkulak.
Di samping itu, penyebab daya beli petani turun, kata dia, karena secara rill terjadi kenaikan produksi yang menyebabkan petani mengonsumsi hasil produksi sendiri untuk kebutuhan pangannya. Karenanya, ketika petani menjual hasil panen, pemerintah harusnya bisa memastikan harga jual yang mereka terima tidak jatuh.
"Kalau income ternyata jelek, berarti yang beli itu pedagang, bukan Bulog," tambahnya.
Pemerintah, kata dia, juga harus menekan biaya produksi petani agar mudah biayanya namun hasilnya tetap melimpah. Sebab, ketika biaya yang dibebankan kepada petani besar, di mana ia harus mengeluarkan uang untuk membeli benih dan pupuk, maka pendapatan mereka pun jadi kecil karena terkuras oleh biaya produksi. Di sinilah pemerintah harus memastikan segala subsidi berupa benih dan pupuk tepat sasaran, betul-betul diterima petani kecil.