REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut perekonomian global yang masih rentan ini menghadapi tiga tantangan berat. Pertama, kata Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde, kebijakan moneter bank sentral negara-negara maju yang tidak serempak.
Di Amerika Serikat (AS) dan Inggris, kata Lagarde, terjadi normalisasi kebijakan moneter sementara di Jepang dan Zona Euro menerapkan kebijakan pemberian stimulus. "Meskipun kebijakan-kebijakan ini dikelola secara baik namun memberikan dampak volatilitas tinggi di pasar finansial, termasuk ke negara-negara yang sedang tumbuh," kata Lagarde seperti dikutip dari situs IMF, Selasa (17/3).
AS sudah menghentikan program peregangan kuantitatif yang menyebarkan uang hingga 80 miliar dolar AS per bulan. Inggris juga mengikuti sejak AS. Jepang dan Zona Euro malah melonggarkan kebijakan moneter mereka untuk memompa produksi dalam negeri dan meningkatkan ekspor.
Risiko kedua, jelas Lagarde, Jepang dan Zona Euro masih terjebak pada area "inflasi rendah-pertumbuhan rendah" untuk periode yang panjang. Kondisi semakin menyulitkan keduanya untuk memperbaiki kinerja perekonomian mereka, terutama untuk mengurangi pengangguran dan memotong utang swasta dan negara.
Kondisi ini, jelas Lagarde, memunculkan risiko terjadinya resesi dan tekanan deflasi tidak hanya bagi perekonomian Jepang tapi juga perekonomian global. Apalagi saat ini Jepang dan Zona Euro terus melakukan langkah-langkah moneter yang berorientasi domestik, hanya demi kepentingan dalam negeri.
Risiko Ketiga, Lagarde mengingatkan negara-negara berkembang dan sedang tumbuh atas dampak langsung menguatnya ekonomi AS. Ada tiga hantaman keras bagi negara-negara ini menyusul membaiknya AS, yakni penguatan dolar AS, suku bunga global yang tinggi, dan gejolak aliran modal, baik aliran masuk maupun aliran keluar.
"Dolar yang terus menguat akan berdampak signifikan atas sistem keuangan global," kata Lagarde.
Apalagi, banyak perusahaan meminjam uang dalam bentuk dolar AS. IMF pun meminta negara-negara untuk melakukan koordinasi lebih intensif terkait dengan kebijakan moneter.