REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Strategis dan Portfolio Utang Kementerian Keuangan Schneider Siahaan mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tidak terlalu membebani APBN dalam hal utang luar negeri. Pemerintah, kata dia, tertolong karena mata uang lainnya seperti euro dan yen turut melemah terhadap mata uang negeri Paman Sam tersebut.
"Bisa dibilang kita beruntung. Dolar memang menguat, tapi euro dan yen kan melemah," kata Schneider kepada Republika, Kamis (12/3).
Schneider menjelaskan, dengan melemahnya euro dan yen maka pembayaran pokok utang dan pembayaran bunga utang dalam bentuk valuta asing tidak akan membengkak. Nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini berada di kisaran Rp 13.100-Rp 13.200.
Angka tersebut sangat jauh dari asumsi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang dipatok Rp 12.500. Kendati begitu, nilai tukar rupiah terhadap euro tercatat Rp 13.890 atau menguat jika dibandingkan pada perdagangan Rabu (11/3) yang mencapai Rp 14.025.
Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, pembayaran cicilan pokok utang dianggarkan sebesar Rp 64,2 triliun. Sedangkan pembayaran bunga utang Rp 155,7 triliun.
"Ada kemungkinan tidak lebih dari yang ditetapkan di APBNP. Karena saling mengompensasi. Makanya kita beruntung karena ada yang menguat ada yang melemah," ujarnya.
Di sisi lain, depresiasi rupiah justru berdampak positif terhadap APBN khususnya dalam hal penerimaan negara. Dia mengatakan, pajak dari minyak dan gas bakal naik karena melemahnya rupiah terhadap dolar. Dalam APBNP 2015, PPh migas ditargetkan sebesar Rp 49,5 triliun.
"Penguatan dolar berdampak positif dari sisi pajak migas. Karena yang diterima dalam bentuk dolar. Jadi kita menerima rupiahnya lebih banyak," kata Schneider.