Rabu 04 Mar 2015 13:14 WIB

Indonesia Dinilai Memerlukan Banyak Bank Berskala ASEAN

Konsolidasi Bank BUMN
Foto: Yasin Habibi/ Republika
Konsolidasi Bank BUMN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo menilai Indonesia harus mempunyai banyak bank berskala ASEAN agar perekonomian nasional terdongkrak serta mampu menghadapi era kompetisi yang sengit dengan bank-bank asing.

"Kalau tidak, ekonomi Indonesia akan selalu kalah dari negara ASEAN terutama Singapura dan Malaysia. Itulah kenapa perlunya bank-bank melakukan konsolidasi dengan banyak bank. Dalam menghadapi kompetisi tersebut, Indonesia harus memiliki bank besar yang kuat," ujar Andreas di Jakarta, Rabu (4/3).

Indonesia, lanjut Andreas, membutuhkan bank besar agar dapat menopang laju pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, bila ekonomi nasional kuat, Indonesia maka bisa menjadi negara perekonomian terbesar ketujuh dunia. "Sangat perlu. Untuk KTT ekonomi Asia pada 2020 nanti, kita harus memenuhi persyaratan Qualified ASEAN Bank (QAB)," kata Andreas.

Andreas menuturkan, meski saat ini perekonomian Indonesia masuk 15 besar, Indonesia belum memiliki bank berskala besar yang mampu menyaingi bank-bank Singapura ataupun Malaysia. Sedangkan, Singapura dan Malaysia, meski tidak masuk perekonomian 15 besar dunia, bank- bank dari kedua negara itu justru lebih besar dari Indonesia. "Maka dari itu, supaya bisa unggul dari Malaysia dan Singapura, harus bisa menetapkan kebijakan konsolidasi melalui perkembangan nonorganik (merger antar bank swasta dan bank BUMN)," ujar Andreas.

Di Singapura dan Malaysia, skala bank kian membesar dan mampu bersaing di tingkat regional akibat proses konsolidasi yang dilakukan oleh pemerintahnya. Tahun 1990 hingga 2013, pemerintah Singapura mengonsolidasikan jumlah perbankannya dari 13 bank menjadi tinggal tiga bank yang besar-besar, yakni DBS Bank, OCBC Bank, dan UOB Bank. Sementara itu. Malaysia juga melakukan hal serupa sepanjang periode 1990 hingga 2013, dimana jumlah banknya dikonsolidasikan dari 28 bank menjadi tinggal delapan bank besar.

Gelombang MEA, kata Andreas, bisa jadi dapat menggerus pangsa pasar bank-bank nasional karena bisa saja terjadi saling sikut antar pemain di dunia perbankan. Semua bank, nasional, atau internasional, dapat memainkan strategi mengamankan konsumennya masing-masing. Artinya, bank-bank akan saling ambil pelanggan dari bank lain.

Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang periode 1999-Juni 2013, pangsa pasar aset bank asing dan usaha patungan naik dari 11,6 persen menjadi 36,5 persen, kredit juga naik dari 20,3 persen menjadi 35,1 persen. Sedangkan pangsa pasar bank BUMN dan bank swasta nasional domestik menurun signifikan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement