Senin 26 Jan 2015 19:21 WIB

Pengamat: Freeport tak Berniat Bangun Smelter di Papua

Rep: C15/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu wanprestasi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia adalah tak kunjungnya dibuat smelter. Padahal, jika Freeport memang memiliki niat untuk membuat smelter, hal tersebut bisa dilakukan oleh pihak Freeport sejak tahun 2009 saat UU Minerba disahkan.

Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energi Studies (IMES), Erwin Usman mengatakan pemerintah harusnya tidak terbuai dengan janji freeport yang hendak membangun smelter. Sebab, jika Freeport memang konsekuen dengan janjinya, pembangunan smelter bisa dilakukan oleh pihak freeport sejak 2009 lalu.

"Karena undang-undang kita sudah mengatur, perusahaan tidak boleh mengekspor bahan mineral mentah, smelter dibangun berfungsi untuk membuat mineral tersebut setengah matang, tentu ini merugikan kita, sejak undang-undang disahkan hanya Freeport dan Newmont yang masih mengekspor bahan mentah," ujar Erwin kepada ROL, Senin (26/1).

Erwin menilai, selama ini Indonesia tidak pernah bisa tegas dengan Freeport. MoU pertama yang dibuat sejak 12 Januari 2014 hingga saat ini, pemerintah Indonesia tidak berani mengambil tindakan tegas terhadap Freeport. Dampaknya adalah, hingga kini PT.Freeport masih mengekspor bahan minyak mentah.

Mudah bagi Freeport sebenarnya membangun smelter. Pembuatan smelter dengan ukuran standart memerlukan biaya 2,5 miliyar dolar atau sekitar 32 triliyun rupiah dengan masa pembuatan dua tahun. Meski Erwin mengatakan untuk perusahaan sebesar Freeport memerlukan setidaknya tiga kalil ipat smelter standar.

"Uang segitu bagi freeport jelas kecil sekali, dan itu bisa segera dibuat," tambah Erwin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement