REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Nilai tukar rupiah kembali menunjukkan tren pelemahan. Berdasarkan data kurs tengan Bank Indonesia (BI) pada Rabu (7/1) kurs tengah rupiah tercatat 12.732 per Dolar.
Nilai ini turun 74 poin dibandingkan hari sebelumnya, Selasa (6/1). Padahal, pada awal tahun Jumat (2/1) kurs tengah rupiah berada di level 12.474. Artinya, sejak awal tahun rupiah terus mengalami pelemahan hingga 258 poin.
Ekonom Bank Permata Joshua Pardede memprediksi pelemahan ini masih terus berlangsung hingga satu semester pertama. Menurutnya, pelemahan rupiah yang terjadi sejak awal tahun disebabkan karena akumulasi sentimen negatif baik dari dalam negeri maupun global.
Dari dalam neraca perdagangan Indonesia pada bulan November mengalami defisit sebesar 420 juta dolar AS. Padahal, pada bulan sebelumnya, neraca perdagangan mencatat surplus 20 juta dolar AS.
Kinerja perdagangan yang belum positif ini turut mendorong pelemahan rupiah. Pelemahan rupiah ini, menurut Joshua cukup tajam, jauh di atas fundamental nilai tukar rupiah yang sebenarnya.
"Neraca perdagangan kita defisit jauh di atas perkiraan market," kata Joshua, saat dihubungi, Rabu (7/1).
Dari sisi global, kata dia rupiah juga tertekan baik melihat kondisi di Eropa, Amerika maupun dengan harga minyak dunia. Dia mengatakan data-data ekonomi di Amerika mendorong penguatan dolar sehingga terjadi pelemahan rupiah.
Pelemahan nilai tukar juga dialami oleh negara lain. Sementara itu, di Eropa situasi politik masih panas terkait adanya kemungkinan Yunani keluar dari Uni Eropa. Hal ini menyebabkan pelemahan mata uang Euro sehingga mendorong penguatan Dolar.
Namun, menurutnya faktor ekonomi di Amerika lebih berpengaruh ketimbang apa yangsedang terjadi di Eropa. Data-data positif di Amerika menimbulkan espektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS sehingga mendorong penguatan dolar.
Di sisi lain, tren penurunan harga minyak juga turut mempengaruhi penguatan dolar sehingga rupiah kian tertekan. Ia mengingatkan tren pelemahan minyak ini juga turut diwaspadai karena bisa menurunkan harga komoditas.
Padahal, ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk komoditas alias produk mentah yang harganya bisa tertekan karena faktor penurunan harga minyak. JIka hal ini terjadi terus menerus, bukan tidak mungkin kinerja ekspor Indonesia akan tertekan dan semakin memperburuk nilai tukar.