Senin 05 Jan 2015 14:57 WIB

Pemerintah Diminta Lakukan Penyesuaian Margin Premium

Rep: c78/ Red: Joko Sadewo
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Wirausaha Nasional Minyak dan Gas wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten meminta Pertamina agar segera melakukan penyesuaian margin setelah subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut. Jika tidak, pengusaha akan merugi jika harga BBM tinggi.

Cara yang diusulkan yakni dengan menetapkan margin atau profit yang dihitung berdasarkan prosentase, bukan dalam bentuk nominal. "Agar baik Pertamina maupun kami sama-sama happy ," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah Hiswana Migas wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, Juan Tarigan kepada Republika Online (ROL), Senin (5/1). Usulan tersebut, lanjutnya, sudah dibicarakan dengan pihak pemerintah dan Pertamina.

Alasan usulan tersebut, kata Tarigan, agar ketika harga premium turun, pemerintah dan pertamina tidak akan merasa rugi. Sementara jika harganya naik pengusaha tidak merasa dirugikan. Ditegaskannya, dengan menggunakan sistem prosentase, berapapun naik atau turunnya harga minyak tidak akan lagi jadi masalah.  

Diterangkannya, jika tetap menggunakan sistem nominal di tengah harga BBM yang fluktuatif, sisi permodalan pengusaha akan berpengaruh. Jika harga turun, kata dia, berarti permodalan berkurang dan pengusaha senang. Namun begitu harga naik, pengusaha rugi sebab modalnya bertambah sedangkan marginnya tetap.

 

Yang sulit, lanjut dia, ialah ketika harga naik dan turun secara tiba-tiba seperti sebelum tanggal 1 Januari 2015 Rp 9.950, kemudian tanggal 1 turun Rp 9.600 dan keesokan harinya turun lagi menjadi Rp 8.800.

Jika begitu, harga tersebut mengundang kerugian bagi pengusaha. Karena jika mereka punya stok 10 ton, waktu menebus ke Pertamina dengan harga Rp 9.600, tapi kemudian keluar aturan harus menjual Rp 8.800. "Dari situ saja kita rugi sekitar Rp 800 dikalikan 10 ton, jadi kita rugi Rp 8 juta dikalikan jumlah SPBU yang dimiliki," ujarnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement