REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Industri baja dalam negeri semestinya dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Namun, sampai saat ini industri baja Tanah Air masih memiliki daya saing yang belum optimal karena terkendala pasokan bahan baku baja.
Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Harjanto mengatakan, industri baja rata-rata masih dibanjiri oleh impor, salah satunya yakni plat baja. Sebanyak 600 ribu ton plat baja di Indonesia masih dikuasai oleh produk asing. Harjanto menambahkan, konsumsi baja impor banyak digunakan di sektor otomotif, konstruksi dan industri kapal.
“Baja sampai saat ini masih less competitive, hal ini dipengaruhi oleh tata niaga, energi, bahan baku, dan logistik,” ujar Harjanto, Ahad (28/12).
Selain itu, tantangan industri baja nasional yakni kebutuhan baja per kapita Indonesia cenderung masih sangat sedikit dibandingkan dengan negara lain. Harjanto mengatakan, konsumsi baja per kapita Indonesia saat ini hanya mencapai 40 kilogram.
Menurutnya, kehadiran investasi baru di industri baja diharapkan dapat memicu peningkatan pertumbuhan dan penyerapan produksi baja. Harjanto mengatakan, selama ini baja buatan dalam negeri kurang diminati karena kualitas yang tidak sesuai spesifikasi dan harga yang tak kompetitif.
Oleh karena itu, pemerintah berharap biaya masuk anti dumping untuk industri baja bisa segera dikeluarkan untuk melindungi produksi baja dalam negeri, sehingga memiliki daya saing.
“Slab harganya 180 dolar AS per ton, dan harga jual plat plus ongkos giling slab sebesar 500 dolar AS, ini agak tak masuk akal karena ongkos giling sebenarnya hanya 100 dolar AS,” kata Harjanto.
Masalah yang perlu diselesaikan oleh pemerintah agar produksi baja dalam negeri dapat kompetitif yakni ketersediaan bahan baku, logistik, energi, tata niaga, dan tenaga kerja. Menurut Harjanto, baja dan logam dasar merupakan sektor yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam investasi.
Harjanto mengatakan, di sektor baja ada rencana investasi dan perluasan delapan perusahaan penghasil pig iron, cold rolled coil, dan hot dipped galvanized senilai Rp. 52,44 triliun.