REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Industri penerbangan di Tanah Air bakal terimbas penguatan mata uang dolar AS. Sejumlah penyesuaian biaya operasional sulit dilakukan karena terjepit beberapa kondisi.
“Pada 2014 kita berasumsi bahwa kurs dolar AS stabil di kisaran Rp 12 ribu, tapi ternyata goyah dan akhirnya ada 15 persen pendapatan di bisnis airline yang terdepresiasi,” ujar Ketua Umum Indonesian National Air Carriers Association (INACA) Arif Wibowo, Jumat (26/12).
Arif menambahkan, mahalnya bahan bakar avtur juga mempengaruhi biaya operasional industri penerbangan. Harga avtur di Indonesia cenderung lebih mahal sekitar 10 sampai 12 persen ketimbang harga di Singapura.
Harga avtur di Singapura yakni 87 sen dolar AS per liter, sedangkan di Indonesia harga avtur mencapai sekitar 97 sen dolar AS.
Menurut Arif, meski biaya operasional mahal, bisnis penerbangan tidak bisa langsung menaikkan harga tiket karena tergantung mekanisme pasar. Apabila harga tiket dinaikkan terlalu tinggi, maka nantinya akan mengurangi permintaan dari pasar.
“Kita perlu melakukan sesuatu yang dramatis untuk airline, termasuk mengurangi cost structure dan berusaha mendapatkan dukungan dari pemerintah,” kata Arif.
Dengan kondisi yang seperti ini, Arif mengandaikan bahwa industri penerbangan pada tahun ini mengalami turbulence (goncangan). Sedangkan, pada 2015 dia memproyeksikan bahwa industri penerbangan akan mengalami head wind (benturan angin dari depan) yang cukup keras.