REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa impor garam selama ini digunakan untuk produksi penyedap rasa dan mi instan.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Partogi Pangaribuan mengungkapkan, salah satu alasan impor garam adalah kualitas garam impor yang memenuhi standar industri dalam negeri. Kualitas garam industri, menurut Partogi adalah garam dengan kandungan NaCl 97 persen dan kandungan Mg (magnesium) dan Ca (kalsium) yang rendah. "Garam industri ini, terang Partogi, lebih banyak digunakan untuk produksi makanan ringan dan mi instan," jelas Partogi.
Partogi menjelaskan, produksi garam dalam negeri mencapai 2,1 juta ton per tahun. Namun angka itu, lanjutnya, hanya bisa memenuhi kebutuhan garam konsumsi saja. Total kebutuhan garam dalam negeri sebanyak 3,5 juta ton per tahun.
"Harus diluruskan, garam ada dua. Garam konsumsi dan industri aneka pangan yang tidak bisa dipakai garam konsumsi, karena butuh kualitas tinggi, seperti mi instan. Yang dimaksud dengan swasembada garam adalah kebutuhan garam konsumsi. Garam industri kita sadar belum bikin. Bukan karena kita tidak bisa, soalnya tinggal menaikkan kualitas saja. Bukan karena kita tidak mampu bikin, tapi materialnya rendah," ujar Partogi, Senin (8/12).
"Namun satu hal, Kemendag tidak suka impor. Namun impor itu diizinkan bila memang dibutuhkan. Ambil contoh tahun 2010 di mana produksi garam hanya 300 ribu ton. Padahal seharusnya 1,6 juta ton."
Oleh karena itu, Partogi mengajak kedua Kementerian lainnya untuk duduk bersama membahas tentang impor garam ini. "Agar semuanya jujur dan akurat," lanjut Partogi.