REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pengusaha menilai pelemahan nilai rupiah merupakan efek dari perekonomian global. Yakni menguatnya nilai dolar sebagai dampak pulihnya ekonomi Amerika serta indikasi kenaikan suku bunga The Fed pada kuartal kedua 2015.
Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAKI), Singgih Widagdo menegaskan pelemahan rupiah semata-mata karena kondisi makro.
"Perekonomian Amerika tumbuh, dolar menguat, ada indikasi The Fed mau dinaikkan, dan kondisi orang membutuhkan dolar saat pinjaman dolar dinaikkan, dari sisi makro menyebabkan lemahnya rupiah," kata Singgih saat dihubungi Republika, Kamis (4/12).
Singgih juga menepis jika ada anggapan adanya kekuatan yang mendorong nilai rupiah terus melemah, terlebih investor batubara. Menurutnya, para investor dari sisi industri melihat kondisi batubara bagaimana sikap pelaku investor perusahaan melakukan kondolidasi internal.
Konsolidasi, kata Singgih, lebih kepada bagaimana meletakkan harga per count-nya, ada keinginan diturunkan. "Semua elemen yang ada dalam proses produk batubara dilakukan konsolidasi agar harga murah. Tapi tidak dengan cara rupiah melemah dolar tinggi sehingga nilai tukar tinggi," jelasnya.
Singgih mengatakan dengan menguatnya dolar dan melemahnya rupiah tidak terlalu bermasalah bagi pengusaha batubara. Sebab, dominan produk batubara sebanyak 70 persen diekspor. Sehingga menguatnya nilai dolar menjadi kabar baik bagi pengusaha batubara.
"Tidak ada arah ke sana (melemahkan nilai rupiah)," tegasnya.
Singgih menegaskan menguatnya perekonomian Amerika berdampak tidak hanya nilai rupiah yang melemah melainkan secara regional nilai tukar mata uang negara di Asia juga melemah. Sejak 2011, nilai rupiah semakin melemah. Rupiah melorot ke posisi terendah dalam enam tahun terakhir di level Rp 12.323 per dolar AS.