REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Bank sentral dan otoritas moneter negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sepakat untuk memperkuat kebijakan makroprudensial. Perkuatan dilakukan dengan berbagi pengalaman antar bank sentral dan meminta masukan dari lembaga-lembaga terkait seperti Bank Pembangunan Islam (IDB).
Kesepakatan tersebut diambil dalam pertemuan bank-bank sentral dan otoritas moneter negara-negara OKI di Surabaya, Jakarta, pada Kamis (6/11). Pertemuan tersebut dihadiri oleh 26 bank sentral negara-negara OKI, termasuk Bank Indonesia (BI). Acara tersebut merupakan rangkaian Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) yang digelar pada 3-9 November.
Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengatakan, pertemuan diawali dengan Expert Group Workshop yang mengambil tema Dealing with Financial Stability Risk: Macroprudential Policy and Financial Deepening in Islamic Finance. Para gubernur dan pakar ekonomi keuangan berdiskusi dan berbagi pengalaman serta pemikiran terkait bagaimana menerapkan kebijakan makroprudensial yang efektif untuk meminimalkan risiko keuangan dan menciptakan stabilitas sektor keuangan, termasuk pendalaman sektor keuangan mikro dalam keuangan syariah.
"Makroprudensial harus terus diperkaya dan dibangun kapasitasnya dengan baik. Kita juga bertukar pandangan agar dapat diimplementasikan sebagai bagian dari bauran kebijakan," ujar Agus dalam konferesi pers usai pertemuan dengan bank-bank sentral negara-negara OKI di Hotel J.W. Marriot, Surabaya, Kamis (6/11).
Bank-bank sentral tersebut sepakat bahwa kebijakan makroprudensial harus terus ditingkatkan. Mereka juga sepakat untuk meminta dukungan lembaga internasional, seperti IDB, untuk membangun standar yang lengkap untuk penerapan makroprudensial. IDB juga akan melakukan capacity building pada negara-negara tersebut. "Kita akan mengeluarkan komunike resmi," ujar Agus.
Penguatan makroprudensial di negara-negara OKI diperlukan untuk mencegah risiko sistemik. Saat ini, kondisi ekonomi di setiap negara berbeda. Negara maju tengah mengalami perbaikan ekonomi, sedangkan negara berkembang mengalami penurunan. Mayoritas negara-negara OKI berasal dari negara-negara berkembang. Oleh karena itu, diskusi mengenai kebijakan dan respons yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya risiko sistemik sangat diperlukan.
Dalam pertemuan tersebut, BI berbagi pengalaman pada bank sentral lain mengenai bauran kebijakan yang dikeluarkan pada 2013 lalu untuk mencegah guncangan dari ekonomi dunia. Saat itu, ekonomi dunia mengalami guncangan karena bank sentral AS, the Federal Reserve, mengumumkan akan menghentikan quantitative easing (QE) karena ekonominya sudah cukup pulih. "Kita menjelaskan bahwa 2014 situasinya jauh lebih baik," ujar Agus.