Rabu 22 Oct 2014 17:05 WIB

Jokowi Diminta Fokus di Neraca Pembayaran Dibanding Angka Pertumbuhan

Rep: Meiliani Fauziah/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
A general view shows the International Monetary and Financial Committee (IMFC) before their meeting at the World Bank/IMF annual meetings in Washington October 11, 2014.
Foto: Reuters/Joshua Roberts
A general view shows the International Monetary and Financial Committee (IMFC) before their meeting at the World Bank/IMF annual meetings in Washington October 11, 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah disarankan fokus memperbaiki neraca pembayaran dibandingkan mengejar angka  pertumbuhan. Dua cara yang dinilai efektif adalah dengan mengurangi subsidi energi dan menaikkan BI rate.

Senior Economist Head of Goverment Relation Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan mengatakan pemerintahan baru harus menyusun strategi ekonomi yang cermat dalam enam hinga sembilan bulan mendatang. Strategi antisipasi dibutuhkan terutama jika The Fed menaikkan suku bunga.

Ia pun meyakini bahwa Presiden Jokowi akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada bulan November. Kenaikan harga sekitar Rp 3000 per liter.

"Pengurangan subsidi BBM satu-satunya cara agar pemerintah punya anggaran membangun infrastruktur," kata Fauzi dalam diskusi yang diadakan USINDO-Pramadina public policy Institute, Rabu (22/10).

Ia menambahkan, bahwa Indonesia masih menjadi tujuan invetasi yang menarik. Tapi investor sedang memantau kebijakan yang akan dilahirkan pemerintah baru.

Beberapa hal yang menjadi perhatian investoe yaitu, bagaimana proses transisi kepemimpinan terjadi. Lalu investor juga menunggu susunan kabinet Jokowi, dan terakhir bagaimana pemerintah merespon pergerakan rupiah terhadap dolar AS.

"Pemerintah harus menaikkan BI rate semester dua tahun depan, sebesar  8,6 persen. Kebijakan ini sebagai langkah antisipasi kenaikan The Fed," kata Fauzi.

Lead Economist World Bank, Ndiame Diop mengatakan bahwa terbuka peluang bagi Indonesia untuk memperbesar ekspor ke Amerika Serikat. Beberapa komoditas yang peluangnya cukup baik yaitu tekstil, karet, ikan, dan sepatu.

"Konstribusi ekspor terhadap GDP baru 21 persen, sisanya bergantung pada konsumsi domestik. Ekspor masih bisa ditingkatkan," katanya dalam acara yang sama.

Namun Indonesia perlu untuk meningkatkan daya saing. Selama ini produk Indonesia bersaing ketat dengan Brazil dan Vietnam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement