Kamis 16 Oct 2014 18:33 WIB

Ini Alasan Kemendag Revisi Permendag 70 Tahun 2013

Rep: Ita Nina Winarsih / Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Penjaga stand menjelaskan kepada pengunjung saat pameran industri kosmetik dan jamu di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (26/8).(Republika/Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Penjaga stand menjelaskan kepada pengunjung saat pameran industri kosmetik dan jamu di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (26/8).(Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan mengklaim revisi Permendag 70/2013 menjadi Permendag 56/2014 ini, untuk memberikan kepastian hukum terhadap produk dalam negeri. Tidak ada diskresi perdagangan dalam perubahan regulasi ini.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (PDN) Kementerian Perdagangan, Srie Agustina, mengatakan, perubahan regulasi ini merupakan semangat Kemendag untuk melindungi produk dan produsen lokal. Apalagi, dengan Permendag 56/2014 ini, produk Indonesia didorong untuk masuk dalam global suply chain.

"Jadi, produk kita ini ada peluang masuk dalam jaringan ritel dunia," ujar Srie, Kamis (16/10).

Srie mengaku, saat ini produk Indonesia sangat hebat. Pasalnya, produk lokal tersebut telah bisa memenuhi kebutuhan perdagangan. Termasuk, produk itu bisa bersaing di mal maupun shopping center.

Terkait dengan revisi ini, lanjutnya, sebenarnya tidak menghilangkan semangat ketentuan 80 persen produk lokal harus ada di pusat perbelanjaan moderen atau milik asing. Ketentuan itu, masih tetap berlaku.

Akan tetapi, kenapa di revisi. Sebab, untuk mencari win-win solution. Karena, bila pemerintah tak memberikan kemudahan pada investor, maka Indonesia akan kehilangan pajak penghasilan. Logikanya seperti ini, lanjut Srie, bila tak ada pengecualian maka para investor itu terancam kabur dari Indonesia.

"Bila mereka tak mau lagi memerpanjang investasinya di tanah air, maka kita akan kehilangan pajak. Salah satunya, pajak penghasilan," ujarnya.

Dengan begitu, pihaknya memberikan pengecualian terhadap pemilik toko moderen atau shopping center tersebut. Dengan catatan, yang dikecualikan itu ada tiga hal. Pertama, mereka (pengelola pusat perbelanjaan moderen yang berdiri sendiri. Kedua, yang dijual merupakan produk premium.

Karena produk premium, maka belum bisa diproduksi oleh produsen Indonesia. Sebab, industri di tanah airnya belum bisa efisien. Ketiga, produk untuk memenuhi kebutuhan warga negara tertentu.

"Nah, bila dari ketiga unsur itu ada yang terpenuhi, maka pusat perbelanjaan moderen itu dapat pengecualian," ujarnya.

Jadi, mereka yang telah eksis di Indonesia dan memenuhi salah satu tiga syarat pengecualian itu, maka diberi kemudahan sampai Juni 2016 mendatang. Dengan kata lain, sejak sekarang sampai 2016 mendatang bila mereka tak bisa memenuhi ketentuan 80 persen produk lokal yang dijual, masih diperbolehkan. Tetapi, setelah Juni 2016, aturan 80 persen produk lokal itu harus diterapkan.

Akan tetapi, bila ada investor ritel yang akan membangun pusat perbelanjaan ritel di tanah air dalam waktu dekat, maka Permendag 56/2014 ini langsung berlaku. Tidak ada pengecualian. Dalam waktu dekat, akan ada perusahaan ritel yang membangun pusat perbelanjaan di Indonesia.

Yakni, sentral ritel asal Thailand. Maka, mereka harus mematuhi aturan 80 persen produk lokal yang dijual di gerai mereka.

Saat ini, lanjut Srie, sudah ada 13 ribu UKM yang jadi binaan Kemendag. Dari 13 ribu itu, 7.000 di antaranya merupakan mitra dagang pengusaha ritel. 30 persen lainnya merupakan penyuplai tetap produk lokal ke pusat-pusat perbelanjaan moderen tersebut.

"Jadi, tak perlu khawatir. Kita ingin, produk-produk lokal ini bisa sejajar dengan produk luar. Serta, menarik minat wisatawan asing untuk tetap berbelanja di tanah air," ujar Srie.

Selain itu, perusahaan ritel atau toko moderen yang ada di tanah air, sudah bisa memenuhi keharusan 80 persen itu. Seperti Uniqlo, Mango, Metro, Carrefour. Rata-rata mereka telah menjual produk lokal di atas 60 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement