Rabu 10 Sep 2014 14:02 WIB

Kemenperin Pesimistis Hadapi MEA 2015

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Esthi Maharani
MS Hidayat
Foto: antara
MS Hidayat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian pesimistis dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Pasalnya, produk industri lokal harganya jauh lebih mahal. Dengan harga mahal ini, sulit bersaing dengan produk luar yang harganya jauh lebih murah.  

Menteri Perindustrian MS Hidayat, mengatakan, selama dua tahun ini pelaku industri lokal harus bisa memersiapkan diri dalam menghadapi MEA 2015 mendatang. Jangan anggap enteng pasar tunggal ASEAN ini. Karena, nantinya memungkinan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara. Sehingga, kompetisi akan semakin ketat.

"Makanya, dari sekarang harus dipersiapkan," ujarnya, saat membuka seminar nasional di Wisma ANTARA, Rabu (10/9).

Apalagi, tingkat daya saing Indonesia menduduki peringkat kelima atau keenam dari 10 negara di ASEAN. Peringkat ini, tidak bagus. Sedangkan, penduduk Indonesia jumlahnya 50 persen dari total penduduk ASEAN. Dengan jumlah penduduk yang tinggi ini, membuat Indonesia jadi pangsa pasar utama industri dan jasa ASEAN.

Untuk itu, lanjutnya, Indonesia baik dari sisi pemerintahan maupun pelaku industri dan jasa harus menyiapkannya sejak saat ini. Ketimbang, pas waktunya nanti jadi ketar-ketir akibat kalah bersaing.

Apalagi, MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa. Tetapi, juga pasar tenaga kerja profesional. Seperti, dokter dan akuntan.

Jangan sampai, lanjut Hidayat, kasus pasar bebas ASEAN-Tiongkok (ACFTA) terulang lagi. Saat itu, Indonesia belum siap menghadapi pasar bebas dengan Tiongkok itu. Pemerintah dan pelaku industri kala itu pun diam saja.

Supaya kasus itu tak terulang lagi, lanjutnya, pemerintah berupaya untuk meminimalisasi dampak negatif dari pasar tunggal ASEAN ini. Salah satunya, Kementerian Perindustrian telah membuat skema perbandingan produk dalam dan luar negeri.

Ternyata, produk dalam negeri jauh lebih mahal. Hal ini, salah satunya disebabkan mahalnya komponen dan bahan baku industri. Serta, kecenderungan tingginya bunga bank. Akibatnya, biaya produksi meningkat. Dengan begitu, pelaku industri dan jasa juga menaikan hasil produksinya.

Selain itu, sebagian besar industri Indonesia masih mengandalkan impor. Seperti, permesinan. Kondisi ini, yang semakin memermahal harga produk dalam negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement