Jumat 22 Aug 2014 01:42 WIB

Tantangan Indonesia Sebelum Maju Lima Besar Perekonomian Dunia

Rep: C69/ Red: Julkifli Marbun
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, memberikan keterangan mengenai kinerja ekspor impor bulan Mei 2014 di Jakarta, Rabu (2/7). (Republika/Prayogi).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, memberikan keterangan mengenai kinerja ekspor impor bulan Mei 2014 di Jakarta, Rabu (2/7). (Republika/Prayogi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Daya saing perekonomian Indonesia di dunia kian meningkat. Mengutip dari hasil survey Citigroup, Muhammad Lutfi, Menteri Perdagangan (Mendag) RI mengatakan bahwa di tahun 2040 Indonesia akan mempunyai Produk Domestik Bruto (PDB) sebeaar US$ 37 triliun.

Diperkirakan, 25 tahun dari sekarang, Indonesia akan ada di peringkat 4 dunia. Indonesia hanya akan berada di 3 negara lain, yaitu Cina, Amerika, dan India.

"Harapanya ekspektasi kehidupan bertambah, tahun 2050 Indonesia akan di peringkat 4 dengan PDB US$ 50 triliun," jelas Lutfi usai Halal Bihalal bersama Kadin Jawa Barat, di Hotel Transluxury, Jl. Gatot Subroto, Kota Bandung, Kamis (21/8).

Meski begitu, Lutfi menyadari tantangan yang akan dihadapi tidak lah mudah. Terutama sejak krisis Amerika Serikat di tahun 2008, ia mengumpamakan Indonesia seperti berlari di jalan turunan.

Hal itu, menurutnya disebabkan kebijakan quantitative easing atau dicetaknya uang murah dari AS. Selain itu yang terjadi juga adalah meroketnya harga barang mentah Indonesia.

Misalnya di tahun lalu Indonesia menjual konsentrat emas dan tembaga ditambah bahan dasar mineral, seperti bauksit dan nikel sebesar Rp 6 miliar. Padahal katanya, bahan itu dijual dari Sulawesi sebanyak 60 juta ton.

"10.000 kapal membawa kiriman ke Cina lebih sering daripada pesawat Jakarta ke Denpasar satu hari, 1 kapal 60.000 ton sama besarnya 4 kali lapangan bola," ungkap Lutfi.

Disadarinya bahwa, seperti yang juga dinyatakan oleh Asean Development Bank (ADB), Indonesia tidak akan sejahtera selama masih terus menjual bahan mentah. Separuh ongkos dipakai hanya untuk ekstrasi, sehingga negara tidak untung.

"Akhirnya apa? kita terjebak di kelas menengah, dan hanya dua cara yang bisa mengeluarkan kita, yaitu pembangunan infrastruktur dan pendidikan," kata dia.

Dalam hal infrastruktur, ia menyoroti kapasitas listrik di Indonesia. Saat ini kapasitas yang ada belum masuk dalam standar ekonomi kelas menengah maupun atas.

Kapasitas listrik total Indonesia kira-kira sebesar 43.000 mw. Padahal untuk menyamai perekonomian kelas menengah ke bawah dalam perekonomian dunia dibutuhkan pembangunan listrik sebesar 200.000 mw. Sedang untuk ekonomi kelas menengah ke atas dibutuhkan 427.000 mw.

"Ini yang menyebabkan Indonesia belum bisa memeratakan kesejahteraan rakyat, di timur Indonesia saja tidak sampai 5000 mw kapasitas listriknya," ujarnya.

Terutama, menurutnya dalam menyambut Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015, yang terpenting saat ini adalah negara dapat menjamin iklim investasi yang baik. Jika ini dilakukan, Lutfi menjamin pada MEA 2015 nanti Indonesia akan jadi pemenangnya.

"Kemungkinan tumbuhnya investor di kita luar biasa, ditambah kini 99.61 persen barang yang diperdagangkan di Asean ini tarifnya sudah 0," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement