Rabu 25 Jun 2014 18:11 WIB

Indonesia Darurat Energi

Rep: Nora Azizah/ Red: Nidia Zuraya
Ladang Migas
Ladang Migas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia saat ini tidak lagi dalam fase krisis energi. "Tapi sudah masuk dalam keadaan darurat energi," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Indonesia (Aspermigas) Effendi Siradjuddin pada acara Bincang Bisnis Republika di Jakarta, Rabu (25/6).

Indonesia diprediksi bisa bertahan dalam impor energi tidak sampai 2020. Krisis energi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga untuk dunia. Sebab 65 persen pasokan minyak dunia berasal dari negara Timur Tengah yang saat ini banyak terjadi konflik. 

Effendi mengatakan, saat ini sebagian besar konsumsi minyak Indonesia untuk sektor transportasi. Sementara dua per tiga konsumsi minyak tersebut berasal dari impor. Ini mengartikan bahwa Indonesia bergantung pada negara lain dalam hal energi.

Dalam lima tahun mendatang, ungkap Effendi, jumlah minyak yang diperdagangkan di dunia hanya mencapai 25 juta barel per hari. Sementara ada sekitar 200 negara di dunia yang masih tergantung dengan impor untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri mereka.

Effendi menuturkan, darurat energi mengancam keamanan sebuah negara. Keberlangsungan sebuah negara menjadi taruhannya. Menurutnya, apabila Indonesia tidak bisa mengatasi darurat energinya, bisa dipastikan negara ini akan tumbang. "Energi sangat erat kaitannya dengan perekonomian dan keamanan negara. Presiden harus menangani persoalan energi secara langsung. Langkah penanganannya harus komprehensif," paparnya.

Effendi menjelaskan, akar permasalahan krisis energi di Indonesia yang sudah dalam posisi darurat terdeteksi dalam beberapa hal. Produksi energi terus menurun selama dua dekade terakhir. Produksi yang menurun ini, kata dia, berbanding terbalik dengan konsumsi yang naik terus selama lima dekade.

Ia menuturkan, produksi dalam negeri terpuruk. saat ini hampir 70 persen perusahaan energi dikuasai asing, dan 50 persennya merupakan milik asing. "Idealnya, perusahaan asing seharusnya hanya 30 sampai 40 persen saja. Hal ini terus dibiarkan pemerintah," ujar Effendi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement