REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun ekonomi Indonesia tumbuh secara rata-rata enam persen setiap tahunnya, pertumbuhan ini masih sangat timpang dan eksklusif. Tidak semua sektor menikmati pertumbuhan, terutama sektor pertanian.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Hendri Saparini rata-rata pertumbuhan ekonomi sektoral mencapai 5,9 persen. "Tapi untuk pertanian, pertumbuhannya hanya 3,6 persen," kata Hendri dalam Seminar Nasional Kedaulatan Pangan Sebagai Pilar Utama Kedaulatan Bangsa di Jakarta, Ahad (1/6).
Pertanian merupakan penyumbang lapangan kerja tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Hendri mencatat, 35 persen lapangan kerja terbuka dari sektor ini. Selain itu, sektor pertanian juga menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar, yaitu 15 persen setelah industri pengolahan.
Nilai tukar petani (NTP) juga tercatat cukup rendah. Dibandingkan tahun lalu, NTP April 2014 mengalami penurunan dibandingkan April 2013. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), NTP April 2014 sebesar 101,80 atau turun dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 104,56.
Keuntungan sektor ini adalah penciptaan lapangan kerja tanpa barrier. Tidak perlu pendidikan khusus untuk menjadi petani. Hal ini dapat memanfaatkan bonus demografi nasional. "Sekira 50 persen tenaga kerja nasional berpendidikan sekolah dasar. Sektor mana yang bisa menerima ini kalau bukan pertanian?" Kata Hendri.
Pertanian di Indonesia cukup terbelakang dibandingkan negara lain di ASEAN. Thailand, misalnya, telah melakukan ekspansi pertanian ke Myanmar. Dan pada 2016, Thailand akan memasuki pasar Indonesia.
Negara seperti India dan Vietnam telah melakukan sejumlah upaya untuk mengembangkan sektor pertanian dan petaninya. Negara maju seperti Amerika Serikat memberi subsidi besar-besaran pada sektor ini. Indonesia, perlu membuat langkah yang lebih konkrit untuk memajukan pertanian menuju ketahanan pangan.