Rabu 28 May 2014 13:44 WIB

Pengamat Minta Kelangkaan Pupuk Diatasi dengan Penyuluhan Organik

Pupuk bersubsidi (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Pupuk bersubsidi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat Pertanian Agribisnis dari Universitas Nusa Cendana Kupang Leta Rafael Levis mengatakan cara lain mengatasi kelangkaan pupuk kimia bersubsidi adalah mengintensifkan penyuluhan tentang cara membuat pupuk organik kepada petani, seperti pupuk kandang dan pupuk kompos.

"Penyuluhan tentang tata cara membuat pupuk dari kandang dan kompos dari sampah ini merupakan solusi yang tepat dan dalam jangka panjang dapat mengatasi kelangkaan pupuk bersubsidi yang setiap tahun dialami petani sawah, terutama pada musim pemupukan padi," katanya di Kupang, Rabu.

Dosen Fakultas Pertanian Undana Kupang itu mengatakan selain penyuluhan tentang cara membuat pupuk kompos dan kandang, pemerintah juga perlu bekerja sama dengan daerah-daerah lain di Tanah Air untuk memberi pelatihan dan magang pada pabrik pembuatan pupuk jenis itu, sehingga petani menjadi mahir.

Di Kota Bandung, misalnya, ada beberapa tempat pembuatan kompos skala pabrik, salah satunya adalah Pabrik Pupuk Organik atau Pabrik Kompos Agro Duta di Jl. Paralon I No. 12 Bandung 40212.

Pabrik ini terletak di antara pabrik-pabrik lain di daerah Holis, yaitu daerah yang terkenal karena ada pabrik bakso dan restoran bakso Holis.

Luas lahan pabrik kurang lebih 6.000 m2, terdiri dari ruang kantor, hanggar perajangan bahan kompos, hanggar penghampar bahan kompos, hanggar mikro organisme, dan halaman parkir truk.

Dalam training pembuatan pupupk kompos, bahan diambil dari sampah pasar Caringin, yaitu pasar tradisionil skala besar di Kota Bandung.

"Setiap hari sampah pasar diangkut dari pasar Caringin ke pabrik ini menggunakan truk kecil (truk engkel), mondar-mandir sebanyak delapan rit per hari. Komposisi sampah pasar Caringin kurang lebih 80 persen bahan organik dan 20 persen bahan non organik," katanya.

Selanjutnya, sampah dirajang (dicacah) dengan mesin perajang kapasitas 5 ton/hari. Sampah yang telah dirajang ini dihamparkan di hanggar penghampar dan disemprot dengam mikro organisme buatan pabrik ini juga.

Setelah itu, bahan kompos itu dibolak-balik setiap hari dan kurang lebih satu bulan proses pengomposan ini selesai, kemudian diayak/disaring untuk mendapatkan butir-butir kompos siap pakai.

Demikian pula penyuluhan pengolahan sampah terpadu untuk memproduksi pupuk cair dari air licit sampah.

"Dalam sebuah uji coba di Kota Bekasi yang dilakukan pertengahan 2010 di ketahui bahwa proses menjadikan air licit jadi pupuk perlu waktu 15 hari dengan mencampurkan mikroba. Pupuk yang dihasilkan kualitasnya diharapkan sama dengan pupuk kompos dari sampah yang juga telah diproduksi perusahaan," katanya.

Ia mengatakan, air licit yang dihasilkan diusahakan agar sampahnya tidak tercampur dengan zat besi atau kandungan bahan beracun berbahaya lainnya, sehingga bermanfaat untuk kesuburan tanaman.

"Dari air licit itu diharapkan bisa dihasilkan terobosan baru berupa pupuk cair dengan kualitas bagus," katanya.

Ia mengatakan penyuluhan dan praktik bagi petani seperti ini perlu dan penting bagi petani yang dipilih dari daerah sehingga lebih lanjut mengembangkan bagi petani lain di wilayahnya.

Meski demikian, Leta Levis mengakui bahwa industri pupuk organik dalam skala besar di Indonesia sulit dibentuk karena masih terkendala masalah rantai persediaan bahan baku yang belum maksimal.

"Kita tidak bisa membuat pabrik pupuk organik secara eksklusif. Agak susah untuk meningkatkan produksi pupuk organik bila persediaan bahan baku pembuat pupuk tersebut masih sulit didapat dan cenderung tersebar tempatnya," kata Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan.

Ia menjelaskan, untuk memproduksi pupuk organik dalam skala besar tentu diperlukan rantai persediaan bahan baku pembuat pupuk yang maksimal.

Namun, kata dia, hingga saat ini bahan baku pembuat pupuk organik saja cenderung susah untuk didapat dalam jumlah besar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement