REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Selama ini hasil perdagangan ayam dan telor, dalam kondisi pasar normal, disebutkan suka menyumbang deflasi terhadap perekonomian nasional. Nah, ketika terjadi kenaikan harga pada kedua komoditas itu, diminta untuk tidak ditanggapi secara berlebihan.
"Sebelumnya hasil jual ayam (emnyumbang) deflasi. Jadi ketika masanya naik, jangan peternak dianggap penjahat," kata Ketua Umum Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional (Pinsar), Hartono, ketika dihubungi Republika, Selasa (26/5).
Peternak, menurut dia, telah berupaya menahan harga agar tidak melambung. Kenaikan harga sekitar 10 persen yang diumumkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga tidak terlalu menguntungkan. "Peternak masih harus menutupi kerugian akibat penjualan di bawah harga produksi berbulan-bulan lalu," ujarnya.
Hari ini harga telor ayam di sentra produksi seperti Blitar, Jawa Timur, mulai merangkak, sekitar Rp 15.700 per kilogram. Harga yang layak, menurut Hartono, adalah Rp 20 per kilogram. "Jadi, di tingkat konsumen harga bisa mencapai Rp 23 ribu hingga Rp 24 ribu per kg," katanya.
Lalu untuk ayam, di Jabodetabek harganya sekitar Rp 18.100 per kg. Sedangkan di sentra produksi seperti Jawa Timur harganya Rp 15 ribu per kg.
Idealnya, peternak bisa menjual ayam seharga Rp 22 ribu per kg. Lalu di tingkat konsumen harga jualnya Rp 38 ribu per kg. "Artinya kenaikan harga sekarang masih murah," kata dia.