REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan penerimaan pungutan tahun ini mencapai Rp 1,8 triliun. Pungutan tersebut dikenakan pada pelaku usaha jasa keuangan, yakni perbankan, industri keuangan non-bank, dan emiten pasar modal.
Deputi Komisioner Manajemen Strategis II OJK Harti Haryani mengatakan, pungutan tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung OJK lainnya. Dengan adanya pungutan, OJK diharapkan dapat mandiri dari dana APBN. "Ketergantungan pada APBN jadi 0 diperkirakan pada 2017-2018," ujar Harti dalam konferensi pers tentang Aturan Pelaksanaan Pungutan OJK, Kamis (3/4).
Pungutan terbesar berasal dari sektor perbankan. Harti mengatakan, porsi pungutan perbankan terhadap total pungutan sebesar 65-70 persen. Sisanya berasal dari IKNB dan emiten pasar modal. Untuk tahun ini, pungutan pada perbankan ditetapkan sebesar 0,03 persen dari aset 2013 atau minimal Rp 6,6 juta. Pungutan dibayarkan per tiga bulan, yakni pada 15 April, 15 Juli, 15 Oktober dan 31 Desember.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rahmat Waluyanto mengatakan, pungutan adalah salah satu dari dua sumber pendanaan OJK. Berdasarkan UU no 21 tahun 2011 tentang OJK, salah satu pasal menyebutkan sumber pendanaan OJK dari APBN dan pungutan. "Bisa suatu saat APBN saja, bisa APBN dan pungutan, dan bisa hanya pungutan," ujarnya.
Rahmat mengatakan, pungutan ini tidak hanya digunakan untuk membiayai kegiatan OJK, tetapi juga untuk melaksanakan pengaturan sektor jasa keuangan yang lebih baik. "Pungutan akan digunakan untuk recycling menjadi pengaturan sektor jasa keuangan yang lebih baik, pengawasan yang lebih baik, pengembangan sektor jasa keuangan yang lebih baik, dan penegakan hukum yang lebih baik," ujarnya.