Rabu 12 Mar 2014 07:40 WIB

Rupiah Sulit Tembus Rp 10.500 per Dolar

Rep: muhamad iqbal/ Red: Taufik Rachman
Petugas menata mata uang pecahan rupiah di cash center BRI, Jakarta, Senin (17/2).
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Petugas menata mata uang pecahan rupiah di cash center BRI, Jakarta, Senin (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan tren penguatan sejak awal tahun.  Berdasarkan data kurs transaksi Bank Indonesia, rupiah per 2 Januari 2014 berada pada level Rp 12.160 per dolar AS.  

Memasuki bulan ketiga 2014, kurs mata uang kebanggaan Republik per 3 Maret 2014 tercatat Rp 11.654 per dolar AS.  Sementara posisi pada hari ini, Selasa (10/3), rupiah berada pada level Rp 11.327 per dolar AS.  

Meskipun terus menunjukkan tanda-tanda penguatan, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menilai, rupiah sulit untuk mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 yaitu Rp 10.500 per dolar AS.  "Kisaran Rp 10.500 sampai Rp 11.000 per dolar AS sulit tercapai.  Kemungkinan akan tetap berada di kisaran Rp 11.000 sampai Rp 12.000 per dolar AS," kata Hendri.

Hendri menyampaikan pendapatnya saat menjadi pembicara dalam sesi seminar "Konferensi Nasional Industri Petrokimia Indonesia" di Hotel Intercontinental, Jakarta, Selasa (11/3).  Sekadar catatan, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR, Rabu (19/2), pemerintah pun telah memproyeksikan rupiah berada pada rentang Rp 11.500 sampai Rp 12.000 per dolar AS.  Menurut Hendri, terdapat sejumlah alasan yang menyebabkan rupiah sulit menembus kisaran Rp 10.500-Rp 11.000 per dolar AS.

Pertama, pengurangan stimulus moneter oleh Bank Sentral AS telah berimbas pada berkurangnya investasi portofolio di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.  "Tak ada harapan gelombang investasi portofolio masuk," ujar Hendri.  

Kedua, ekspor dalam negeri yang didominasi 65 persen produk primer macam minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), belum akan membaik.  Terlebih, kata Hendri, kondisi perekonomian mitra ekspor utama Indonesia yaitu Cina, belum pulih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement