Jumat 07 Mar 2014 12:48 WIB

Hatta: Renegosiasi Kontrak Karya Tak Bisa Asal Labrak

Rep: Esti Maharani/ Red: Indira Rezkisari
Hatta Rajasa
Foto: Aditya Pradana Putra/Republika
Hatta Rajasa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan tak mudah bagi pemerintah untuk bisa merenegosiasi kontrak karya perusahaan tambang di Tanah Air.

Meski ada UU Minerba yang baru, tetapi pemerintah pun tidak bisa asal menerapkan pada perusahaan tersebut. Tetap harus ada kesepakatan bersama.

Ia mengatakan pemerintah juga menginginkan agar renegosiasi bisa berjalan cepat. Tetapi perusahaan tambang pun memiliki kontrak karya terdahulu yang juga berkekuatan hukum.

“Kalau kita labrak itu, mereka (perusahaan tambang) ke arbitrase, gak baik buat kita,” katanya di kantor presiden, Jumat (7/3).

Ia menjabarkan perdebatan tersebut misalnya terjadi pada pasal-pasal tertentu seperti; kontrak yang sudah ditandatangani sebelum UU diundangkan tetap dihormati sampai dengan berakhirnya kontrak. Selain itu, ada pula pasal yang mengatakan satu tahun setelah kontrak harus disesuaikan.

Perdebatan itulah yang membuat proses renegosiasi terkesan lama. Diakuinya, selain perdebatan tentang aturan hukum, persyaratan yang diajukan oleh pemerintah Indonesia cukup berat sehingga perusahaan tambang pun harus berhitung dengan cermat.

Contohnya, mereka harus mengembalikan lahan, divestasi 51 persen, hingga aturan tentang pertambangan dalam.

“Intinya, kita harapkan ini bisa diselesaikan tuntas. Sudah banyak sebetulnya. Tidak ada yang tidak mau hanya belum sesuai dengan harapan kita,” katanya.

Ia mengatakan pemerintah tak akan mundur dan akan terus melakukan renegosiasi. Sebanyak 112 perusahaan tambang mineral yang beroperasi di Indonesia harus menyetujui enam poin renegosiasi kontrak tambang.

Saat ini, sudah ada 25 perusahaan tambang yang akan menandatangani renegosiasi tersebut. Ia juga mengakui dengan renegosiasi akan timbul sejumlah konsekuensi seperti neraca perdagangan yang deficit.

“Ini konsekuensi yang harus kita hadapi. Kita jangan berpikir, deficit neraca perdagangan lalu kita mundur. Ini ibarat mundur 1-2 langkah untuk melompat ke depan 10 langkah. Saya juga tidak mau ada istilah relaksasi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement