REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY - Negara-negara kaya yang tergabung dalam G-20 menampik keluhan yang dirasakan negara berkembang akibat kebijakan moneter negara kaya. Mereka malah meminta negara berkembang agar mencari jalan keluar sendiri agar bisa mengikuti agenda meningkatkan pertumbuhan global.
"Negara berkembang harus mengambil langkah sendiri untuk memperbaiki kondisi fiskal mereka dan menjalankan reformasi struktural sesuai rencana," kata Menteri Keuangan AS Jack Lew pada Jumat (21/2) dalam konferensi menjelang pertemuan tingkat menteri di Sydney, Australia.
Pendapat ini ternyata senada dengan pandangan rekan-rekannya dari Jepang, Inggris, dan Jerman. Menteri Keuangan Jerman, Wolfgang Schaeuble, mengatakan kepada CNBC bahwa negara berkembang harus terlebih dahulu membenahi diri sebelum mereka menuntut solidaritas dari anggota G-20.
Sedangkan Deputy Perdana Menteri sekaligus Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso, menilai kebijakan moneter AS sebagai hal positif. Menurutnya, kebijakan itu justru menunjukkan pemulihan ekonomi AS meski pun akibatnya makin besar risiko arus modal yang keluar dari sejumlah negara lain.
"Perekonomian negara berkembang harus mengoreksi kondisi tersebut dengan berusaha sendiri," kata Aso di Tokyo.
Berbagai pihak memang membawa agenda sendiri dalam pertemuan tingkatmenteri keuangan dan gubernur bank sentral pada akhir pekan ini di Sydney. Negara berkembang ingin agar bank sentral AS atau the Fed menyesuaikan paket stimulusnya agar dampaknya tidak terlalu berat bagi negara-negara berkembang.
Sebaliknya, negara maju menganggap bahwa masalah yang timbul di negara berkembang sdalah masalah bawaan dan tingkat suku bunga mereka pun seharusnya disesuaikan demi mencapai pemulihan ekonomi domestik.
Dalam beberapa bulan terakhir, negara berkembang, mulai dari Afrika Selatan hingga Turkey dan Rusia sekali pun, menderita penurunan nilai mata uang mereka. Pasalnya, imbalan yang menggiurkan di AS telah mengisap dana-dana asing yang selama ini diinvestasikan di negara berkembang.