Senin 27 Jan 2014 14:08 WIB

Pemerintah Baru Harus Ubah APBN

Rep: Satya Festiani/ Red: Nidia Zuraya
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ilustrasi).
Foto: www.arsipberita.com
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan baru yang akan terpilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dinilai tidak akan mengubah kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Namun, pemerintahan yang baru diharapkan berani mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tengah mengalami defisit.

Mantan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla (JK), mengatakan siapapun pemerintahnya akan sangat pragmatis. "Tak mudah untuk mengambil kebijakan ekstrim. Kadang-kadang kebijakan ekstrim itu hanya dilakukan selama 2 tahun dari 5 tahun," ujar JK dalam Seminar Ekonomi Standard Chartered bertema 'Global Research Briefing 2014: Rising East, Emerging West', Senin (27/1).

Menurutnya, masyarakat jangan mengharapkan pemerintah akan mengambil kebijakan yang tidak pro-rakyat, seperti menaikan bahan bakar minyak (BBM). Ia mengatakan tidak mudah untuk meminta calon presiden mengungkapkan kebijakan ekonomi secara gamblang, terlebih lagi untuk kebijakan yang tidak populis.

Kendati ia memprediksikan pemerintah yang baru tak akan mengubah kebijakan ekonomi, ia berharap pemerintah yang baru memiliki keberanian untuk mengubah APBN. Menurutnya, sistem ekonomi di Indonesia mengalami hal yang dilematis. Sistem ekonomi mengikuti sistem politik yang terbuka, tetapi Indonesia memiliki subsidi yang tinggi.

"Siapa pun boleh masuk ke Indonesia, tapi di lain pihak APBN sangat berat dengan anggaran yang penuh subsidi. Ruang pemerintah mengambil kebijakan sempit sekali," ujar dia.

Belanja pemerintah pusat 2014 terdiri atas belanja pegawai Rp 263,977 triliun, belanja barang Rp 201,88 triliun, belanja modal Rp 205,84 triliun, pembayaran bunga utang Rp 121,28 triliun, dan subsidi energi sebesar Rp 282,1 triliun. Belanja subsidi energi terdiri atas BBM Rp 210,7 triliun dan listrik Rp 71,4 triliun. Angka subsidi BBM 2014 jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2013 yang mencapai Rp 199,7 triliun.

"Subsidi sudah 20 persen dari APBN. Subsidi penting, tetapi kalau 20 persen dari APBN berat," ujar dia.

Subsidi yang besar membuat negara tidak akan dapat memperbaiki jalan atau lingkungan. Menurutnya, subsidi yang ideal adalah sebesar 10 persen dari APBN. Cara mengurangi subsidi tersebut adalah dengan mencabut subsidi BBM dan tidak menambah biaya dana dan pegawai pemerintah. "Kita tak bisa potong gaji, biaya kesehatan, dan pendidikan. Yang bisa dipotong yang mengurangi kesenangan orang mampu," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement