REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Komaidi Notonegoro meminta rencana akuisisi PT PGN Tbk oleh PT Pertamina (Persero) dilakukan demi kepentingan nasional dan bukan politik.
"Pertimbangan akuisisi ini mesti dari sisi bisnis dan bukan politis menjelang Pemilu 2014," katanya di Jakarta, Selasa (14/1).
Ia berharap, akuisisi PGN oleh Pertamina memberikan dampak yang baik bagi ketahanan energi, kebijakan bagi BUMN, dan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Sementara itu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu juga mengatakan akuisisi PGN oleh Pertamina mestilah dilakukan setelah melalui kajian secara mendalam.
Menurut dia, akuisisi tidaklah mudah. "Keputusan akuisisi ini mesti melalui Menkeu, Menko Perekonomian, DPR, dan RUPS PGN," katanya seperti dikutip dalam akun twitter-nya.
Komaidi menambahkan kalau akuisisi dilakukan demi kepentingan politik, maka Pertamina dan PGN sebaiknya tetap pada posisi yang ada sekarang.
"Saya kira untuk menyelesaikan 'open access' tidak perlu merjer. Asal pemerintah tegas dan kuat, maka kebijakan open access pasti dijalankan PGN," katanya.
Ia menilai, persoalan akuisisi tersebut tidak lepas dari aroma politis. "Kasihan BUMN kalau seperti ini cara yang dipakai. Sudah sering BUMN jadi alat pencitraan. Saya khawatir menjelang 2014 ini pola yang sama juga dipakai," katanya.
Sebelumnya, dalam risalah rapat Menteri BUMN Dahlan Iskan bersama Dewan Direksi dan Komisaris Pertamina pada 7 Januari 2014, disetujui opsi Pertamina mengakuisisi PGN dan meminta secepatnya dibuat analisa dan kajiannya.
Skenario yang diinginkan Pertamina adalah memerjerkan anak perusahaan, PT Pertagas dengan PGN.
Selanjutnya, perusahaan hasil merjer menjadi anak perusahaan Pertamina.
Pertamina menyatakan penyatuan Pertagas dengan PGN merupakan langkah terbaik.
Komposisi saham perusahaan hasil merjer Pertagas-PGN adalah Pertamina sebesar 30-38 persen sebagai hasil konversi 100 persen saham Pertamina di Pertagas.
Lalu, Pemerintah Indonesia selaku pemegang 57 persen saham mayoritas PGN, bakal memiliki saham sebesar 36-40 persen.
Terakhir, publik yang menguasai 43 persen saham minoritas PGN, akan memiliki 26-30 persen saham di perusahaan hasil merjer Pertagas-PGN tersebut.
Jika hak kepemilikan saham pemerintah sebesar 36-40 persen dikuasakan ke Pertamina, maka Pertamina akan menjadi pemegang saham mayoritas sekaligus pengendali perusahaan hasil merjer dengan porsi 70-74 persen.
Pemerintah sendiri tetap memiliki kendali melalui 'share holder agreement.' Pertamina menilai penyatuan Pertagas-PGN akan memberikan tambahan keuntungan bagi negara sebesar 2-3 miliar dolar AS per tahun dari pengurangan biaya bahan bakar pembangkit, dampak terhadap GDP, pengurangan subsidi, serta peningkatan pajak dan dividen.
Keuntungan merjer lainnya adalah memangkas biaya pengembangan 'asset up stream' gas dan menciptakan lapangan bagi 4 ribu tenaga kerja.