Kamis 14 Nov 2013 09:32 WIB

IEA: Penggunaan Bahan Bakar Fosil Global Tetap Dominan

ILEGAL TAPPING. Dua orang petugas menyedot minyak mentah yang tumpah akibat kebocoran pipa FOTO ANTARA/ Feny Selly
Foto: Ilustrasi
ILEGAL TAPPING. Dua orang petugas menyedot minyak mentah yang tumpah akibat kebocoran pipa FOTO ANTARA/ Feny Selly

REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan meskipun efisiensi energi dan pengeluaran untuk sumber energi terbarukan meningkat, namun penggunaan bahan bakar fosil secara global diperkirakan akan tetap dominan. Pernyataan  tersebut disampaikan Fatih Birol, Kepala Ekonom IEA dan Direktur Ekonomi Energi Global, saat memaparkan Prospek Energi Dunia (WEO) 2013 di Wina, Rabu (13/11) waktu setempat.

Dia mengatakan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 82 persen dari total sumber energi global pada 25 tahun yang lalu, dan meskipun ada upaya-upaya keuangan dan lainnya untuk menurunkan ketergantungan tersebut, persentasenya tetap sama pada saat ini. Dia juga mengatakan sebagai akibatnya IEA memperkirakan emisi CO2 meningkat dalam 20 sampai 25 tahun ke depan yang akan menghasilkan peningkatan suhu bumi sebesar 3,6 derajat celsius, membuat tujuan peningkatan maksimum dua derajat hampir mustahil.

Sementara itu, perwakilan industri Austria menyatakan kekecewaannya pada langkah-langkah Eropa untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Lembaga Press Austria mengutip Gerhard Roiss, CEO perusahaan minyak dan gas OMV, mengatakan bahwa Eropa bisa membayar harga yang tinggi untuk sedikit dampaknya dan membuat upaya yang lebih besar untuk mengurangi emisi CO2.

"Sementara mereka kehilangan bagian-bagian tertentu dari intensif energi penting industri-industri terhadap kawasan lainnya di dunia karena meningkatnya biaya energi," ujar Roiss seraya menambahkan Eropa memiliki tujuan yang jelas untuk target emisi, tetapi tidak untuk daya saing global.

Birol mengatakan Amerika Serikat memiliki keunggulan di sektor energi karena memiliki akses ke minyak dan gasa serpih (shale) yang jauh lebih murah yang telah mengurangi ketergantungannya pada batubara dan dengan demikian mengurangi emisi CO2-nya. Dia juga menyatakan pesimistis pada perdagangan emisi CO2. "Jangan berharap terlalu banyak dari pasar karbon, dan Eropa harus memeriksa apakah sistem tersebut telah digunakan ketika konsekuensi ekonomi diperhitungkan," ujarnya.

sumber : Antara/Xinhua
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement