REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahan pertanian diperkirakan makin menipis tahun depan. Pembangunan perekonomian yang diletakkan di kawasan pertanian menjadi salah satu penyebabnya.
Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan Pertanian, Tunggul Iman Panudju memperkirakan sebanyak 2 juta sawah akan menghilang dalam waktu 3 tahun. Hal ini menyusul realisasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dieksekusi.
"Perda RTRW tidak berpihak pada pengembangan sektor pertanian," ujar Tunggul ditemui di kantornya, Kamis (31/10).
Untuk itu Tunggul meminta agar pemerintah daerah (pemda) melakukan tinjau ulang terhadap peraturan daerah (perda) terkait RTRW yang sedang digodok.
Perda tersebut harus memasukkan upaya pengembangan lahan persawahan termasuk penyediaan lahan cadangan pangan. Sawah yang sudah ada harus dimaksimalkan dan bukan dialihfungsikan untuk tujuan lain.
Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, baru 17 provinsi yang telah menyelesaikan perda RTRW. Tunggul menilai masih ada waktu untuk membuat perda RTRW menjadi lebih berpihak pada sektor pertanian. Ia pun mengimbau agar pejabat daerah setempat juga mendukung rencana ini.
Direktorat Perluasan dan Pengelolan Lahan menargetkan produksi padi sebanyak 1,059,383 ton sampai Desember 2013. Target ini akan dicapai melalui cetak sawah, optimalisasi lahan, sistem pertanian terintegrasi (System of Rice Intensification/ SRI).
Saat ini Kementrian Pertanian (Kementan) pun telah memangkas dana untuk mencetak sawah. Tunggul mengatakan pihaknya mencabut sekitar Rp 2,7 miliar dana cetak sawah di tiga propinsi, yaitu di Kabupaten Tabalong di Kalimantan Selatan, Kabupaten Mesuji di Lampung dan Lubuk Utara di Sulawesi.
Pemangkasan ini lantaran daerah-daerah tersebut melanggar kebijakan cetak sawah yang ditetapkan Kementan. "Kalau pemda tidak mengikuti pedoman teknis dari kita, maka anggaran akan dikurangi," katanya.
Selain itu, ia melihat sebaiknya pemerintah menetapkan kebijakan harga beras yang lebih layak untuk petani. Ia masih menemukan Pemerintah sebaiknya turun langsung ke lapangan untuk mengecek harga, bukan hanya menerima laporan diatas kertas.
"HPP beras itu perlu direvisi, kalau tidak ada revisi price policu, maka orang-orang muda tidak akan napsu bertani. Kenapa? Karena begitu panen, banyak pihak lain yang menjadi penentu harga, bukan petani," ujarnya.
Ia pun melihat perlu ada lembaga khusus yang bisa menangani seluruh produk pertanian. Terutama apabila harga komoditas rendah, dibawah harga pembelian pemerintah.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2013, posisi harga Gabah Rp 4.047 per kilogram (kg) atau 20,60 persen diatas HPP dan harga beras termurah tingkat eceran Rp 8.675 per kg atau 30,86 persen diatas HPP.
Ketua Kajian Strategi Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Achmad Yakub mengatakan pemerintah juga perlu membuat semacam badan usaha di tingkat kabupaten agar petani bisa mengusahakan nilai tambah bagi produknya. Misalnya, pemerintah mempunyai unit khusus pengolahan bahan baku.
Pemerintah juga perlu mengajarkan para petani metode penjualan langsung untuk memperlancar distribusi. Selain itu revisi harga beras dan gabar giling juga diperlukan agar petani tertarik menggarap sawah ketimbang menjualnya.