REPUBLIKA.CO.ID, Aroma sekam bercampur debu pagi masih menggantung di udara. Pukul delapan, Dusun Tempuran, Kabupaten Karawang, belum sepenuhnya terjaga. Di sebuah bangunan sederhana mirip gudang, Mohamad Encun—warga mengenalnya sebagai Haji Encun—duduk tenang di samping mesin penggilingan padinya. Cat hijaunya kusam, komponennya tampak lelah, tapi mesin tua itu masih setia menyalami setiap karung gabah yang datang, meski kini tak seramai dulu.
Dengan lancar pemilik lima hektare sawah itu menjelaskan proses penggilingan gabah. Mulai dari memisahkan sekam dari gabah di mesin hulling hingga menjadi beras putih dari mesin polisher. Dalam sehari Encun menggiling dua sampai tiga karung sehari. Ia menerima ongkos 15 ribu rupiah untuk setiap 30 kilogram beras. Bukan bisnis besar, melainkan pengabdian untuk memastikan tetangganya tetap bisa makan nasi. Ini yang justru membuat penggilingan kecil seperti milik Encun tetap bertahan. “Kalau yang kecil gini mah ada aja yang ngegiling. Kalau yang gini emang gak akan bangkrut sih. Sehari dua-tiga karung ada lah,” jelas Encum.
Ampera untuk Rakyat
Penggilingan kecil seperti milik Encun, punya nama sendiri: Ampera. Mesin itu setia menerima gabah warga, bukan untuk dipasarkan, melainkan untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga sehari-hari. Hasilnya sederhana, rendemennya rendah—dari 60 kilogram gabah hanya keluar sekitar 30 kilogram beras. Butirnya banyak yang patah, kadar airnya lebih tinggi.
“Kalau buat pasar, mereka lebih suka hasil penggilingan besar, putih, lebih bagus,” ujar Encun. Tapi bagi warga desa, ampera justru penting: lebih murah, lebih terjangkau, dan hadir sebagai solusi ketika dapur perlu mengepul.
Nama itu, Ampera, seakan menggemakan sejarah. Tahun 1966, Presiden Soekarno memperkenalkan konsep AMPERA—Amanat Penderitaan Rakyat—sebagai dasar pembangunan nasional berorientasi kesejahteraan. Bahkan kabinet saat itu pun dinamai Kabinet Ampera.
Kini, bagi warga Dusun Tempuran, kata itu menemukan makna baru: sebutan bagi beras sederhana, simbol dari penggilingan rakyat untuk rakyat. Namun, Encun sadar, nasib penggilingan kecil makin terhimpit. “Beda sama Ampera ini,” katanya lirih. “Penggilingan yang buat dijual ke pasar malah banyak yang tutup, bangkrut, kalah sama yang besar.”
Suara Bawang: Persaingan Tak Seimbang
Di sisi lain desa, Bawang, warga Tempuran, menambahkan cerita getir. Ia menyaksikan bagaimana banyak pabrik kecil akhirnya tutup.
“Bandar kecil beli padi dengan harga rendah, bandar besar bisa beli lebih tinggi. Kalau yang kecil naik, yang besar bisa naikin lagi. Di pasar juga sama, yang kecil jual ke pasar, yang besar langsung ke toko-toko. Akhirnya kalah bersaing,” katanya.
Bawang menunjukkan bangunan pabrik yang sudah berhenti beroperasi. “Ada yang siap dijual. Padahal dulu bisa produksi 20 ton sehari. Tapi modalnya nggak kuat. Belum sempat besar, sudah bangkrut.”
Data Nasional: 161 Ribu Penggilingan Kecil
Cerita Encun dan Bawang selaras dengan data yang disampaikan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman. Ia menyebut ada tiga klaster penggilingan padi di Indonesia:
- 161 ribu unit penggilingan kecil
- 7.300 unit menengah
- 1.065 unit besar
“Kapasitas giling penggilingan kecil mencapai 116 juta ton per tahun, sedangkan produksi padi nasional hanya sekitar 65 juta ton,” kata Amran (17/8/). Artinya, jumlah mesin jauh lebih banyak daripada bahan baku yang tersedia.
Fenomena penggilingan kecil yang tutup, jelas Amran, bukan sepenuhnya hal baru. Musim panen juga berpengaruh: sekitar 70 persen produksi padi terjadi di semester pertama (Januari–Juni), sehingga di paruh kedua banyak mesin kecil menganggur.
View this post on Instagram
Ketimpangan Harga & Kecurangan Pasar
Selain kapasitas, persoalan harga jadi jurang lain. “Kalau yang kecil beli Rp6.500, yang besar bisa Rp6.700. Kalau kecil naik Rp6.700, yang besar ambil Rp 7.000. Artinya yang kecil terganggu,” ujar Amran dalam jumpa pers di Jakarta.
Ketimpangan itu memunculkan ketidakadilan: penggilingan kecil tak mampu bersaing dalam pembelian gabah maupun penjualan beras. Bahkan, Amran mengakui adanya praktik kecurangan: beras dijual dengan kualitas tak sesuai label sehingga harga melonjak tak wajar.
Ada Harapan di Pasar Tradisional
Meski demikian, Amran melihat dinamika pasar juga memberi peluang baru. Penjualan beras premium di ritel modern justru melemah, sementara pasar tradisional mulai menggeliat. Di ruang itulah penggilingan kecil masih punya harapan.
Dengan stok beras yang hanya sekitar 23 juta ton tersisa di sisa tahun berjalan dan kapasitas giling terpasang hingga 165 juta ton, wajar bila tidak semua penggilingan bisa beroperasi penuh. Kondisi ini membuat penggilingan kecil kerap kalah bersaing dalam harga.
“Kalau berasnya saat ini tinggal 23 juta, gak banyak, kapasitas pabrik seluruhnya itu 165 juta, tentu kan tidak kebagian yang kecil. Kenapa yang kecil? Kalah bersaing dalam harga. Nah, ini mudah-mudahan akan terbentuk struktur pasar baru,” ujarnya
Mesin Tua yang Menolak Mati
Hari beranjak siang di Dusun Tempuran. Encun menyalakan mesinnya lagi. Suara berderak itu seolah menolak kalah oleh deru mesin raksasa yang berkilat di kecamatan sebelah.
“Selama masih ada gabah, saya akan giling,” katanya.
Mesin tua Encun memang tak bisa bersaing dalam kapasitas atau kualitas, tetapi ia memelihara sesuatu yang lebih bernilai: martabat desa, kebersamaan, dan kepastian bahwa meski kecil, ada tangan yang memastikan rakyat tak kehilangan semangkuk nasi.