REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmu Ushul Fiqh dinillai sangat langka diajarkan dalam materi-materi pelatihan perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah. Hal itu menyebabkan para pakar ekonomi Islam dan Sumber Daya Manusia (SDM) bank syariah termasuk regulator syariah jarang memahami ilmu Ushul Fiqh.
Ketua Ikatan Alumni Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto mengatakan padahal disiplin tersebut menduduki posisi utama dalam ilmu ekonomi syariah, khususnya bagi para pimpinan bank, regulator, dewan fatwa, terlebih dosen-dosen di program sarjana dan pascasarjana ekonomi Islam. "Ilmu Ushul Fiqh yang bermuatan maqashid syariah akan memberikan pemikiran rasional dan filosofis tentang ketentuan ketentuan fiqh muamalah dan fatwa-fatwa," ujarnya, Senin (30/9).
Menurutnya, upaya menemukan sifat atau alasan yang tampak dan tetap yang dibangun di atasnya sebuah hukum (illat) sering kali membutuhkan pengetahuan disiplin ilmu lain yang terkait, misalnya ilmu ekonomi makro. "Mungkin secara fiqh muamalah formal, suatu kasus dibolehkan, tetapi setelah mengkaji maslahat dan mudharatnya dari perspektif ilmu ekonomi makro, sesuatu kasus situ bisa dilarang. Karena itu kita jangan terjebak kepada kerangkeng //fiqh muamalah//, tapi temukanlah illat, temukan maslahat dan mudharat dalam sinaran maqashid syariah," kata dia.
Agustianto mengatakan mungkin saja seseorang ahli dalam ushul fiqh, namun tidak menggunakan analisis ilmu ekonomi makro sehingga tidak bisa menemukan illat dengan tepat di bidang ekonomi. Misalnya ada seorang pakar di luar negeri yang membolehkan transaksi bursa komoditi berjangka karena mengqiyaskannya dengan bay’ salam. Secara formal antara keduanya memang kelihatannya mirip, namun secara illat dan maqashid, terdapat unsur derivatif ribawi di dalamnya sehingga transkasi itu menjadi terlarang. Contoh lain yang cukup sederhana antara lain tentang illat larangan riba yang dikatakan illatnya zhulm.
Menurutnya, kesalahan menemukan illat riba akan menimbulkan kesalahan fatal berikutnya, misalnya menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2 hingga 3 persen setahun bukanlah riba, dibanding margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10 hingga 12 persen setahun. Di sini, kata Agustianto, dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro Islami seperti teori inflasi, teori bubble dan krisis, hubungannya dengan produksi, employment, dan sebagainya.
"Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam harus bisa menemukan illat secara tepat dan akurat," kata dia. Pengetahuan tentang illat begitu penting. Dengan mengetahui illat, maka ketentuan fiqh muamalah akan selalu bermuatan maslahah dan maqashid syariah sehingga syariah akan selalu aktual, segar dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan tuntutan kemajuan zaman.
Dalam ilmu ushul fiqh, kajian tentang illat dibahas dalam sub bahasan masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul manath kemudian tanqihul manath dan terakhir tahqiqul manath. Agustianto berujar forum training ushul fiqh akan melatih para ekonom muslim, Dewan Pengawas Syariah (DPS), regulator dan bankir menemukan illat dan menetapkannya.