REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan kurs rupiah sampai mendekati Rp 12 ribu per dolar AS tidak semata karena faktor fundamental ekonomi, tapi juga bersifat spekulatif. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro berpendapat, sudah ada tanda-tanda Bank Sentral Amerika (the Fed) tidak jadi menghentikan stimulus ekonomi (QE). Bahkan ada yang memperkirakan bahwa stimulus itu tetap diberikan karena AS akan menyerang Suriah.
Semestinya rupiah menguat dengan informasi seperti itu. Tetapi, nyatanya rupiah terus melemah. "Mestinya pasar lebih stabil, tapi nyatanya kan tidak. Itu tandanya kita sekarang karena spekulatif sebenarnya," kata Bambang di Kementerian Keuangan, Jumat (6/9).
Mengenai minimnya dampak kenaikan BI rate dan peningkatan harga BBM, Bambang mengatakan bahwa pihaknya belum membuat prediksi. ''Nanti deh kalau ada prediksi kita sampaikan," kata dia.
Tentang tambahan beban subsidi akibat pelemahan nilai tukar rupiah, Bambang mengakuinya. Hanya dia tidak bersedia menyebut angka tambahan itu. "Yah, pokoknya (subsidi) nambah. Tetapi, yang penting akhirnya defisit (anggaran) bisa kita pertahankan 2,38 persen dari PDB, bahkan di bawah itu," ujarnya.
Bambang menjelaskan, volume konsumsi BBM bersubsidi pascakenaikan harga sudah bisa dikontrol. Dengan demikian, pembengkakan subsidi hanya karena faktor pelemahan nilai tukar.
Terkait akan terjadi pengurangan anggaran belanja untuk mempertahankan defisit anggaran tetap 2,38 persen, Bambang menjawab, ''Pokoknya belanja kita targetkan 90 persen. Karena 100 persen gak mungkin,'' ungkapnya.
Bambang juga membenarkan bahwa target penerimaan pajak dipastikan tidak tercapai. Namun demikian, pemerintah berpatokan bahwa pokoknya defisit anggaran 2,38 persen tidak bisa diganggu gugat.