REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dituntut segera mengambil kebijakan yang bisa menarik masuknya investasi asing, menarik dana asing ke dalam negeri dan mengurangi belanja yang membutuhkan devisa besar, termasuk pengendalian impor.
"Meskipun gejolak keuangan 2013 tidak setajam 2008, namun diperkirakan bisa berdampak panjang terhadap ekonomi jika tidak ada langkah cepat dan serius Pemerintah untuk meredam gejolak tersebut," kata pengamat ekonomi Said Didu, di Jakarta, Jumat (23/8).
Menurut Said, gejolak finansial 2013 jika dibiarkan dampaknya lebih lama dan lebih luas karena penyebab tahun 2008 murni dari luar (krisis AS). Sementara gejolak 2013 ini lebih banyak karena masalah keuangan/fiskal dalam negeri yang diperkuat dengan melonjaknya nilai tukar dolar AS.
Dalam dua pekan terakhir nilai tukar rupiah di pasar uang terus merosot hingga sempat menembus level Rp 11 ribu per dolar AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terhempas lebih dari 10 persen menjadi pada kisaran 4.100 poin. Akibat gejolak tersebut Pemerintah mengambil kebijakan stabilisasi harga pangan untuk menjaga daya beli masyarakat, selain intervensi di pasar uang, termasuk melakukan buyback saham BUMN di pasar modal.
Menurut Said Didu, ekonomi Indonesia masih menghadapi masalah internal yang rentan terhadap gejolak valuta asing. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini, menyebutkan setidaknya lima masalah internal, yaitu pertama, defisit perdagangan yang diperkirakan masih berlanjut.
Kedua, harga komoditas ekspor utama masih tetap rendah, ketiga, defisit APBN yang makin tinggi. Selanjutnya keempat, tingginya pembayaran utang pemerintah dan swasta, dan kelima, impor kebutuhan mendasar seperti BBM dan komoditas pangan yang tetap tinggi. "Agenda lainnya adalah tetap konsisten meneruskan pemebarantasan korupsi dan penegakan hukum," tegas Said.