Rabu 07 Aug 2013 09:54 WIB

Ekonom: Pajak UMKM Berat Untuk Usaha Beromzet di Bawah Rp 1 Miliar

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
UKM kerajinan rotan (Ilustrasi)
UKM kerajinan rotan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Titik Anas menegaskan bahwa pengenaan pajak usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) memberatkan wirausahawan UMKM dengan omzet dibawah Rp 1 miliar per tahun.

Menurut Titik, pemerintah memang perlu untuk peningkatan penerimaan berupa pajak. Sehingga pemerintah mengeluarkan aturan pengenaan pajak UMKM sebanyak 1 persen dalam rangka kenaikan penerimaan negara. Tetapi dia memberi masukan sebenarnya UMKM dengan omzet dibawah Rp 1 miliar per tahun tidak perlu dipungut pajak.

“Mereka sudah mengeluh beban biaya bunga perbankan, biaya transportasi, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harga bahan-bahan pokok yang tidak menentu. Saya rasa keluhan mereka masuk akal,” katanya saat dihubungi ROL, Selasa (6/8).

Dia mencontohkan, jika seorang wirausahawan UMKM memperoleh omzet Rp 50 juta setiap tahun. Tetapi ternyata dia harus menghadapi kenaikan harga BBM, dan biaya produksi semakin mahal. Sehingga meski omzet naik, keuntungan yang diperoleh berkurang. Beban itu semakin berat saat wirausahawan itu harus mengeluarkan Rp 500 ribu untuk membayar pajak. Jadi, kata Titik, kalau bisa pengenaan pajak UMKM dengan omzet dibawah Rp 1 miliar setiap tahun tidak usah dipungut atau ditunda pelaksanaannya.

“Tetapi kalau UMKM dengan omzet diatas Rp 1 miliar per tahun, saya rasa pemerintah bisa memungut pajak. Tetapi pemerintah harus memperbaiki wajib pajak dengan skala usaha besar sehingga tidak bocor,” tuturnya.

Namun, dia menambahkan, administrasi pajak akan jadi lebih sulit karena sistem pajak yang melaporkan sendiri (self assesment). Titik sangsi apakah UMKM seperti warung tegal (warteg) dapat mengisi sendiri surat pemberitahuan (SPT) badan, maupun Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kemudian, dia menambahkan, dari segi pemerintah juga harus menambah biaya karena untuk mengkroscek apakah betul UMKM omzetnya sekian, pemerintah harus mengalokasikan tenaga-tenaga untuk melakukan hal itu.

Sebelumnya, Ketua umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Maz Pandjaitan mengatakan akan melayangkan surat permohonan peninjauan kembali atau penundaan aturan pengenaan pajak  UMKM ke Menteri Koordinator bidang Perekonomian Indonesia Hatta Rajasa. Menurut Hipmikindo, aturan tersebut dirasa memberatkan wirausahawan UMKM.

Ketentuan pajak itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. PP ini terbit pada 12 Juni 2013 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2013. Namun Maz mengaku, aturan pajak ini masih belum berlaku. Adapun peredaran bruto (omzet) UMKM yang tidak lebih dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak, akan dikenai pajak dengan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebanyak satu persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement